"Aku ini manusia macam apa, bagaimana bisa aku berperang dengan adikku sendiri, aku yang salah karena tidak mengawasinya, aku yang salah karena berhenti menasehatinya, hanya karena dia sudah dewasa bukan berarti dia tidak akan berbuat kesalahan, hanya karena dia seorang yang dihormati bukan berarti dia sempurna, aku telah berdosa, kuharap Tuhan mau sedikit memaafkanku dan tidak melemparkan diriku ke neraka," gumam seorang pemuda yang berjalan ditengah badai sendirian.
"Alim!!!, kau ngapain jalan-jalan sendiri begitu, sekarang badai, bagaimana kalau nanti kau sakit," ucap seorang gadis berkebaya ungu yang terlihat khawatir.
"Shifa?, lucu sekali kau berpikir bahwa hujan ini akan membuatku sakit, aku tak apa kok," balas pemuda bernama Alim tadi sembari melempar senyum getir pada gadis berkebaya ungu bernama Shifa itu.
"Kurasa hatinya masih belum ikhlas untuk melawan adiknya, mau bagaimanapun mereka berbagi suka dan duka bersama selama bertahun-tahun, bermimpi untuk menjadi yang terbaik dan kini malah harus saling membunuh, kenapa Dunia begitu kejam pada mereka, setiap hari seusai latihan dia selalu seperti ini, merenung sendirian, mencoba berteman dengan rasa sepi, melepas rasa sakit dihatinya setelah berlatih keras untuk membunuh adiknya sendiri," pikir Shifa sembari mendekati Alim untuk memayungi sang kekasih meski lumpur mengotori jubah panjang yang dia kenakan.
"Terimakasih," balas Alim sembari menyalakan api kecil ditangannya dan samar-samar menyaksikan seorang lelaki mendekatinya.
"Oh Hari, salam untukmu, salam juga untukmu Shri Devi, izin melapor, kita mendapatkan tamu penting," ucap lelaki itu.
"Salam juga untukmu Amra, siapa yang datang," tanya Alim pada pria itu.
"Utusan dari Shangkara, Mahabali ingin menemuimu," ucap pria tadi yang bernama Amra.
"Utusan dari Shangkara ya, sudah lama rasanya aku tidak mendengar nama Ihsan yang itu, terimakasih sudah menghiburku dengan memanggilnya begitu, kau memang pria yang baik tuan Amra," balas Alim seraya mengangkat tangannya dan dengan itu menggunakan energinya untuk membuat kalung bunga disekitar leher Amra.
"Aku mengenalnya sebagai Shangkara dan selalu ingin mengenalnya sebagai Shangkara, mari tuanku, ada urusan yang harus kita lakukan," ucap Amra sembari mengantar Alim menuju ke ruangannya.
Sementara itu ditempat lain Faisal akhirnya sampai. Sang utusan disambut dengan hormat oleh puluhan punggawa yang berjejer dengan rapi. Langkah demi langkah dilewati Faisal dengan takjub menyaksikan persiapan di keraton milik Alim itu, wangi dupa yang dibakar memenuhi lorong yang dibawahnya mengalir air bersih dan susu, pohon anggur merambat di lorong marmer yang terang itu dan diujung jalannya ada sebuah gerbang raksasa dari kayu cendana dimana dua orang penjaga yang berdiri memegang chakra, pedang, terompet keong dan gada dengan keempat lengan mereka. Kedua mata mereka akhirnya terbuka saat merasakan datangnya sang utusan, mereka tersenyum tenang sembari berjalan kearah Faisal yang merasakan sendiri bahwa mereka penuh dengan energi yogi yang mereka dapatkan dengan menyelaraskan diri dengan alam semesta.
"Jadi kalian Jaya dan Vijaya, penjaga gerbang ruangan takhta Shri Hari, salam kuhaturkan pada kalian yang setia pada tugas kalian, kalian sungguh pejuang yang mulia," ucap Faisal sembari membungkukkan badan.