"Aku bingung, kenapa bisa perang ini terjadi, padahal semuanya sudah berjalan sesuai rencana, andai saja anak itu tidak memulai perburuan navagraha, andai saja dia tidak ketahuan pasti semua ini bisa diselesaikan dengan cepat, seharusnya tak ada alasan untuk peperangan ini, andai saja aku lebih hati-hati waktu itu maka tak mungkin sekarang aku membuat senjata untuk berperang melawan adikku sendiri, perang macam apa sih ini," gumam seorang pemuda yang sedang sibuk mengotak-atik zirah perang di laboratorium miliknya.
"Yusuf, maaf, aku izin masuk, ada panggilan dari Alim, nampaknya Ihsan baru saja mengirim undangan untuk bertemu," ucap seorang gadis yang baru saja memasuki ruang kerja pemuda tadi.
"Undangan apa lagi yang ditulis anak itu Sekar?," tanya pemuda bernama Yusuf tadi sembari terus mencoba menyelesaikan zirahnya.
"Undangan pertemuan untuk membahas perang, Alim mengundangmu untuk hadir selaku wakilnya di aliansi ini," ucap gadis bernama Sekar tadi.
"Akhirnya dimulai ya, perang yang akan melumat Dunia, sebuah dharmayudha, coba tebak siapa saja yang akan jadi korban, haruskah aku menghadapi adikku itu, anak sialan itu seharusnya tidak memulainya, bukankah aku harusnya punya otoritas sebagai Brahma, seharusnya aku sedikit lebih tegas waktu itu tapi orang-orang tua yang congkak itu menghalangiku, mereka dengan sombongnya ingin menyatakan perang pada adikku dan pada akhirnya meminta bantuanku juga untuk melindungi mereka, lihat saja, mereka akan menelan akibatnya, saat mereka dipaksa kehilangan nyawa mereka dalam keadaan tak berdaya, saat itu apakah mereka akan mempertanyakan lagi keadilan, saat kepala mereka hancur karena serangan trisula adikku yang kubuat dengan tanganku itu apa mereka masih bisa membumbungkan ego mereka itu, tentu tidak, mereka hanya tubuh tanpa kepala yang hanya bisa jatuh ketanah, orang-orang tua yang bodoh itu hanya memikirkan ego mereka dan berlindung dibelakang orang-orang pemberani yang mereka anggap bawahan, sungguh hina, sungguh hina," ucap Yusuf sembari berjalan gontai, wajahnya linglung memikirkan apa yang akan terjadi. Meskipun begitu sang Brahma tetap memenuhi tugasnya, dia segera keluar dari ruangannya lalu memanggil angsanya lalu menaikinya dan dengan begitu dia melesat menuju Ariloka dengan kecepatan penuh.
"Dia tak mau mengatakan itu pada orang lain, ketakutannya itu, pertanyaannya itu, aku takut dia sudah mulai kehilangan kewarasannya," pikir Sekar sembari mengikuti Yusuf dari belakang dengan angsanya sendiri.
Tak berapa lama Yusuf akhirnya tiba di Ariloka dan tak berapa lama kemudian Sekar datang mengikutinya. Sepasang pejuang itu berjalan kedalam keraton untuk menemui sang Narayana. Sambutan penuh hormat segera mereka terima begitu turun dari angsa. Melihat itu Sekar tersenyum dengan tenang sembari memberkati orang-orang disana sementara fokus Yusuf tidak berubah, matanya lurus ke ruangan sang Narayana meski tangannya tak berhenti memberikan derma, tatapan penuh angan-angannya membuat orang-orang disana bingung dengan apa yang menimpa junjungan mereka itu. Tak berapa lama mereka melangkah untuk memasuki keraton mereka terhenti dengan suara kepak sayap garuda yang turun membawa sang Narayana yang menatap saudaranya itu dengan tatapan kosong yang membuat Yusuf termenung menyaksikan kesedihan mendalam dimata saudaranya itu.
"Alim?, aku tak mengerti seberat apa perasaanmu untuk menghadapi Ihsan, kau yang menemaninya sedari kecil, kau mengenalnya jauh sebelum kau mengenal kami, andai saja hatimu tidak berpegang teguh pada dharmamu sebagai ksatria maka kau pasti akan membela adikmu saat ini dan menghancurkan kami semua, untungnya kau memahami apa yang menjadi prioritasmu dan memilih rakyatmu, aku hargai itu Alim, aku bahkan tidak tau bagaimana caranya kau masih waras sekarang, kau mengagumkan saudaraku," pikir Yusuf saat menyaksikan Alim berjalan kearahnya.
"Salamku padamu wahai Adideva, apa kau sehat," ucap Alim seraya memberikan salam.
"Kau sungguh berlebihan Narayana, tak bisakah kau panggil aku Yusuf saja Alim," ucap Yusuf sembari membentangkan tangannya.
"Ya, maaf Yusuf," ucap Alim sembari memeluk erat saudaranya itu. "Apa kau baik-baik saja bro," tanya Alim.
"Sehat kok, kau yang gak kelihatan baik," ucap Yusuf.
"Kau sudah membaca suratku bukan!?, dia serius Yusuf, dia akan menyerang, adikku itu benar-benar akan memerangi jagat raya," ucap Alim dengan terbata-bata.
"Aku sudah baca, Dunia memang kadang tidak adil pada kita, dia sudah memisahkan kita yang dulu tidur bersama dengan alasan meraih mimpi lalu memaksa kita menyibukkan dengan takhta dengan memanfaatkan rasa iba kita pada orang-orang dan pada akhirnya mengadu kita dengan adik kecil kita dengan alasan dharma," ucap Yusuf.
"Dunia memang tempat manusia diuji Yusuf, berhentilah mengeluh dan terima saja," balas Alim yang sudah kering air matanya.