Beberapa bulan sebelumnya di keraton Suralaya.
"Uhmm Ihsan, boleh aku tanya sesuatu," pinta Shafa.
"Apa Shafa," sahut Ihsan dengan lembut.
"Bukannya kamu suka menyendiri lalu kenapa dirimu terlihat lebih bahagia didekat orang lain," tanya Shafa.
"Begitu ya, mungkin aku harus lebih suka berada didekat orang lain agar bahagia tapi sebenarnya itu karena seseorang tak bisa senyum-senyum sendiri terlalu lama, senyum harus dibagikan bukan ditahan sendiri, aku memang lebih nyaman sendiri tapi sesekali saat ada orang mau bicara denganku maka aku bisa mengeluarkan isi pikiranku dan itu membuatku bahagia," ucap Ihsan.
"Tapi Ihsan, kalau membagikan isi pikiranmu membuatmu bahagia tapi kenapa kamu jarang keluar dan lebih sering berdiam diri," tanya Shafa.
"Aku butuh waktu untuk memikirkan banyak hal Shafa, sebelum menjawab aku perlu memikirkan matang-matang apa yang akan kukatakan, aku juga takut perkataanku mengusik perasaan orang lain, mungkin mereka juga perlu waktu sendiri," ucap Ihsan.
"Ahh iya, mungkin aku harus lebih memikirkan apa yang harus kukatakan, apa aku terlalu banyak bicara Ihsan," tanya Shafa.
"Entahlah, saat ini aku menjawab sebanyak pertanyaanmu, mungkin aku juga banyak bicara haha, tapi Shafa, kau perlu paham kalau untuk mencapai tujuan yang sama sekalipun setiap orang harus mengambil peran yang berbeda-beda," ucap Ihsan.
"Maksudnya gimana Ihsan," tanya Shafa.
"Coba lihat tangan kita," ucap Ihsan sembari membuka tangannya.
"Iya, kenapa dengan tangan kita," tanya Shafa sembari memandangi tangan Ihsan.
"Lihatlah ada lima jari disana, anggaplah jempol itu ide, nanti akan ada telunjuk yang memberikan arah untuk melaksanakan ide itu, ada jari tengah yang merupakan alat-alat yang dipakai untuk mencapainya, ada jari manis yang menjadi simbol dari pedoman yang harus dipatuhi agar ide tetap berjalan dan ada jari kelingking yang menyatukan semangatnya," ucap Ihsan.
"Seperti dirimu dan keempat saudaramu itu ya," ucap Shafa.
Seketika itu juga Ihsan terdiam memandangi tangannya sendiri sebelum akhirnya kembali tersenyum pada Shafa.
"Iya seperti aku dan keempat saudaraku," ucapnya dengan senyum yang merekah.
...
Hari ke-153 dharmayudha keempat.
HAAAAAAAAAAAA!!!!!!!
Gema suara Ihsan dan Yusuf terdengar diseluruh medan tempur saat senjata mereka saling beradu dengan sangat cepat, tangan mereka saling mengayun untuk menyerang dan bertahan memperlihatkan kilatan-kilatan cepat dan ledakan-ledakan keras dari bertemunya serangan mereka saat tubuh mereka mulai terbakar emosi yang mulai tak terkendali. Disaat yang sama beribu anak panah dan peluru meluncur dari senjata mereka mengarah pada satu sama lain dan menghabisi siapapun yang berani mendekat, anak panah pinaka yang keluar melubangi tubuh orang-orang yang berada dalam jalurnya dengan sangat rapi sementara peluru gandiwa menghancurkan sekelompok orang dengan ledakan ganas. Tak lama kemudian keduanya kembali mendekat untuk saling bertukar pukulan, Ihsan melapisi tangannya dengan aether sementara Yusuf melebarkan zirahnya ke tangannya sebelum akhirnya tinju keduanya saling bertemu dan kembali menimbulkan ledakan keras dimedan tempur. Tak berhenti sampai disitu keduanya kembali saling serang, kini Ihsan mengeluarkan gadanya dan Yusuf menyambut dengan membuat perisai untuk menahannya sebelum memukulkan tongkatnya kedada Ihsan dan mendorongnya menjauh dimana hal ini segera dimanfaatkan oleh Ihsan untuk memutar kakinya dan memberikan beberapa tebasan aether kearah Yusuf yang menahannya dengan perisai yang kini dilapisinya dengan elemen selestial. Tepat setelah itu berjuta-juta peluru gandiwa meluncur kearah Ihsan yang segera meningkatkan kekuatan prakamya miliknya untuk menjadi jauh lebih cepat dalam menyusuri medan tempur diikuti dengan tembakan-tembakan cepat dari pinaka yang coba ditahan oleh Yusuf dan beberapa juga harus dihindarinya dengan mengecil membiarkan panah-panah Ihsan menembus tubuh ratusan tentara tanpa melambat sedikitpun. Hal ini segera diikuti dengan sebuah sambaran tinju yang mengarah ke perut Ihsan yang saat itu menghindarinya dengan cepat sambil mengayunkan lututnya untuk menghantam dagu Yusuf. Tak lama kemudian Yusuf segera membuat palu yang dia segera lapisi dengan elemen selestial sebelum diluncurkan kemuka Ihsan yang menahannya dengan gadanya sebelum kemudian mengeluarkan bajranya dan mengisinya dengan cepat untuk menyengat Yusuf sebelum mencoba menikam Yusuf dengan trisulanya yang berhasil merobek sebagian zirah Yusuf dan memaksa Yusuf untuk segera memperbaikinya. Tepat setelah itu Yusuf kembali memodifikasi zirahnya untuk mengeluarkan dua bilah tajam dari tangannya sebelum mengayunkannya keleher Ihsan yang segera mundur untuk menghindarinya sembari mengeluarkan sepasang kerisnya dan kemudian mengayunkannya pada Yusuf. Saat itu tatapan mereka terkunci dengan amarah, satu yang menutupnya dengan tawa dan satu yang mengobarkannya bagai api tapi yang jelas keduanya masih saling serang tanpa ampun mengalirkan rintik keringat dan cipratan darah mereka untuk mewarnai medan laga serta mengisinya dengan tawa ganas dan raung murka yang menghancurkan gendang telinga.
Sementara itu disisi lain medan laga Alim masih berusaha menangkap Kusuma dan Kerta yang berseliweran bagai capung dihadapan avatarnya. Hal ini juga disertai dengan kebingungan yang terjadi karena tentara Harasena yang terus mengepungnya dari berbagai sisi, memaksanya untuk terus menyerang mereka semua sambil terbang mencari-cari Kusuma dan Kerta yang menyelinap diantara mereka tepat saat Alim menerobos semuanya dan menyembul dengan avatarnya yang hitam legam berbalut aliran darah saat berusaha menangkap kedua pejuang masa lalu itu. Tak lama kemudian beberapa tembakan meriam sharanga menembus lapis demi lapis pasukan Harasena saat Alim terus memburu Kusuma dan Kerta.