Nataraja

Ghozy Ihsasul Huda
Chapter #190

Puspita Nendra

Hari ke-190 dharmayudha keempat. Senyuman Ihsan terlihat jelas dibawah sinar rembulan, sebuah senyum tulus yang terbentuk dari memori-memori indahnya yang muncul begitu dia mengikhlaskan beribu luka dihatinya. Kini hatinya sudah sepenuhnya ikhlas dengan panggilan Sang Hyang Bhatara Guru yang melekat padanya, yang rakyatnya tempelkan sebagai identitasnya bersama dengan sekian banyak julukan lainnya, Mahadewa, Rudra, Nataraja Bhairava dan Shangkara.

"Aku ingin bertanya pada jagat raya tentang apa arti sebuah nama tapi dia hanya diam mengganti gelap dengan cahaya, maka aku bertanya pada matahari tapi dia malu dan bersembunyi diantara pegunungan maka aku tanya gunung apalah arti sebuah nama tapi sampai sekarang dia diam, mungkin itu karena aku bertanya pada hal yang sebenarnya tidak bernama, tidak punya identitas dan tidak punya keinginan untuk memberikan nama, hanya manusia yang diajarkan Tuhan untuk memberikan nama, maka aku bertanya pada diriku sendiri, apalah arti sebuah nama dan aku sanggup menjawabnya, nama adalah bingkai yang kita berikan pada jagat raya untuk menunjukkan luasnya, isyarat yang kita selipkan pada matahari untuk mengenal sang pembawa cahaya, yang kita tujukan pada binatang untuk mengagumi beragam rupanya, yang kita berikan pada manusia untuk memberikan do'a dan harapan kita padanya juga yang kita sematkan pada Tuhan untuk menyampaikan sujud sembah kita pada-Nya. Saat ini sebagai panglima tertinggi Harasena akulah Nataraja, bagi Harisena mungkin aku Bhairava, disaat yang sama Jonggring Saloka memanggilku Mahadewa, Rudra adalah gelar pertamaku sebagai ksatria, Shangkara adalah nama dari orang-orang yang berterimakasih atas bantuanku, Sang Hyang Bhatara Guru adalah bentuk kekaguman orang-orang padaku. Dulu aku selalu ingin dipanggil Ihsan, karena begitulah orang tuaku menamaiku, begitulah orang-orang yang benar-benar mengenalku memanggilku, begitulah aku mengenali diriku tapi sekarang orang-orang bebas memberikan nama padaku untuk menyematkan harapan dan do'a mereka padaku, menyampaikan berkah yang harus kujaga agar terwujud dan juga menyampaikan kutukan yang mengingatkanku tentang apa yang harus kuperbaiki," gumam Ihsan sembari memandangi rambat cahaya matahari.

"Sejak kapan kau jadi puitis?, hmmh mungkin kau memang sudah terlalu lelah dengan semua beban amanahmu adikku," ucap Alim.

"Hahaha, mungkin kau benar cak, aku mungkin lelah memikul beban amanah yang menggunung diatas pundakku sampai aku melihatnya dan aku hanya melihat tumpukan berkah yang begitu banyak dari mereka," ucap Ihsan.

"Masih bisa saja kau tertawa, apa alasanmu masih bisa tertawa didepan panglima utama musuhmu," ucap Alim.

"Karena aku tau kau akan menjagaku," ucap Ihsan.

Mendengar itu Alim hanya terdiam sejenak memandangi wajah adiknya, senyum kecil tersimpir diwajahnya saat dirinya mengangkat pedang dan gadanya.

Lihat selengkapnya