"Ihsan, ayo makan dulu," panggil Shafa seraya mrmbawakan senampan makanan untuk Ihsan.
"Shafa, apa kau yakin akan melawan orang tuamu untuk membelaku," tanya Ihsan sambil memberi makan paus pembunuhnya dipinggir teluk.
"Aku membela pemikiranmu untuk membela kemanusiaan, kurasa idealisme negara-negara yang saat ini sudah benar tapi terlalu banyak oknum yang menungganginya, aku bosan melihatnya Ihsan, kurasa sistemmu akan lebih susah untuk ditunggangi," ucap Shafa.
"Kau akan berperang melawan ayahmu Shafa!!!, coba pikirkanlah, kau akan mengangkat senjata pada orang yang mengajarimu cara untuk mengangkatnya, bahkan jika pemikiranku benar tapi tetap saja Shafa, kau tak pantas mengangkat senjata pada orang tuamu," bentak Ihsan.
"Aku tau, aku akan coba menghindari konflik melawannya, tapi kalau dipaksa harus bertemu maka apa daya," ucap Shafa.
"Kau perempuan Shafa, kau ada kesempatan untuk tetap berada di belakang, tak memihak siapapun, bukannya aku mau bilang kalau perempuan itu lemah tapi kau punya hak untuk mundur dari peperangan, ibumu saja tidak maju berperang karena tau anaknya ada di pihak yang berseberangan dengannya, dia sudah sadar perannya sebagai seorang perempuan, hati seorang perempuan lebih peka terhadap rasa, lebih rentan digoyahkan emosi sedangkan isi dari medan tempur hanyalah duka dan lara, kalau di medan pertempuran nanti kau berkhianat maka jangan salahkan aku jika aku mengusirmu dari keraton ini, pertimbangkan lagi keputusanmu, mundurlah sekarang atau kau harus menanggung semua resikonya," ucap Ihsan.
"Aku siap menanggung resikonya Ihsan, aku ingin berjuang untuk membela hal yang kuanggap benar, tolong jangan halangi aku," ucap Shafa.
"Kalau itu kehendakmu maka jalanilah, aku sudah mengingatkanmu," ucap Ihsan.
"Makanlah dulu Ihsan," sahut Shafa.
"Baiklah," balas Ihsan sembari mendekati Shafa dan nampan yang dibawanya.