Hari ke-194 dharmayudha keempat. Ihsan melangkah diatas samudra dengan membekukan air yang ada di kakinya. Saat itu dia menuju Alim yang sedang bersiap dengan kedua senjata ditangannya. Dadanya yang sempat hancur ditembus konta kini perlahan mulai menutup meski racun mematikan akibat radiasi konta masih mengalir ditubuhnya. Saat itu terlihat jelas diwajah Alim, sebuah ketakutan yang tak terbantahkan, tangan dan kakinya gemetar dihadapan Ihsan yang berjalan kearahnya dalam keadaan yang seharusnya sudah mati sampai akhirnya Ihsan melesat kearahnya dengan khatvanga mengarah langsung ke kepalanya. Setengah terkejut, setengah bingung, Alim menahan khatvanga dengan gadanya namun Ihsan tiba-tiba memutar tubuhnya, bergeser ke samping Alim dan berusaha kembali menghantamnya namun Alim kembali berhasil menahan, kali ini dengan nandaka. Dalam kekacauan itu Ihsan segera menendang air dan mencipratkannya kearah Alim sambil perlahan membimbing air itu menjadi cambuk-cambuk serangannya yang segera menguap terkena panasnya nandaka. Melihat hal itu Ihsan dengan santainya mengisi khatvanga dengan angin sebelum bergerak dan menyerang Alim dari berbagai sisi menggunakan tembakan meriam angin dari khatvanga. Dalam keadaan itu Alim menggunakan kaumodaki untuk bertahan, aliran energi dari gada itu perlahan membentuk lagi air yang mengalir hingga membentuk wujud naga yang akhirnya diikuti dengan munculnya ananta shesha dari belakang tubuh Alim. Melihat hal itu Ihsan merespon dengan memperingan tubuhnya menggunakan teknik laghima agar dia bisa dengan lincahnya menghindari serangan Alim dan shesha tanpa perlu banyak menggunakan tenaga.
"Kenapa kau melenyapkan senjata yang kita buat sendiri Ihsan, tak taukah kau betapa pentingnya sebuah senjata bagi seorang pejuang," teriak Alim.
"Sama pentingnya seperti gincu dibibir perempuan," ucap Ihsan.
"Iya Ihsan itu sangat penting, sepenting itulah juga pentingnya senjata ditangan pejuang, sepenting itu jugalah aturan pada masyarakat, seperti gincu yang memperindah bibir wanita, seperti senjata yang menjadi kebanggaan pejuang, seperti itulah pentingnya aturan, hidup akan lebih harmonis dengannya," teriak Alim.
"Iya nampaknya aturan memang membuat semuanya lebih harmonis tapi gincu itu tidak penting, Shafa tak terlihat lebih cantik saat ada gincu di bibirnya, senjata juga tak menjadi kebanggaan bagi seorang pejuang, keduanya hanya aksesoris yang bagus bagi sebagian orang dan hina bagi sebagian lainnya, bagiku itu tidak penting, mungkin itu karena yang kutatap adalah Prajnaparamita yang terlalu cantik untuk dirias dengan apapun, mungkin itu karena aku terus menghancurkan senjata kita karena berpikir itu hanya penghalang bagi degup keras jantung saat terjadi pertarungan sebenarnya, dengan kedua tangan saja," ucap Ihsan.
"Lalu kenapa kau masih memegang khatvanga," tanya Alim.
"Ada rasa yang harus kujaga dari dia yang memberiku khatvanga," ucap Ihsan.
"Seperti itulah berharganya sebuah pusaka, itulah sena mustika, kau harus menjaganya, seperti itu juga manusia harus menjaga aturan, kau yang berada diatas takhta harusnya paham itu, harusnya kau mengerti betapa beratnya sebuah takhta," seru Alim.