Nataraja

Ghozy Ihsasul Huda
Chapter #196

Wijaya Kusuma

Hari ke-196 dharmayudha keempat. Ihsan masih terlihat membombardir Alim hingga retakan zirahnya membesar dan akhirnya hancur berkeping-keping dalam ledakan yang begitu keras yang memperlihatkan Narayana yang terkulai lemas dengan dada penuh darah. Saat itulah ananta shesha menyambut tubuh sekaratnta, memutar tubuhnya untuk menjadi ranjangnya sementara garuda terdiam di pinggirnya, tak lagi berusaha melawan Mahadewa.

"Ihsan, kenapa kau berhenti," ucap Alim.

"Aku menyadari sesuatu, aku masih perlu bimbinganmu," ucap Ihsan.

"Tapi saat ini aku musuhmu, kalau benar para tentaraku mengusik wargamu maka bukan salahmu untuk marah padaku, kau raja Ihsan," ucap Alim.

"Karena itulah aku berhenti, aku tak mau jadi raja tanpa hati, sesekali aku ingin mengikuti kata hatiku, sesekali aku ingin bertindak tidak sebagai panglima, aku ingin bicara padamu sebagai saudara, tapi kau terus saja memakai topeng Narayana dan menyebutku sebagai Mahadewa, Cak, aku ingin bicara, sekarang sudah tak ada lagi senjata ditanganmu, kau sudah terbaring tak berdaya sedangkan aku masih berdiri, salahkah aku bilang bahwa pertarungan ini sudah berakhir," tanya Ihsan.

"Tidak Ihsan, aku memang sudah kalah, nampaknya semua kesaktianku, seluruh senjataku, semua tak ada artinya dihadapan kekuatan besar yang lahir dari tekadmu, aku sudah kalah Ihsan, aku takkan melawan," ucap Alim.

"Kau masih punya kaumodaki yang masih bisa kau aktivasi," ucap Ihsan.

"Iya, tapi ragaku sudah terbaring diatas sheshnaag, hakku untuk melawan sudah sirna begitu kau tak menggunakan kesempatan tadi untuk membunuhku, aku sudah pasrah dengan karma dari jalan dharmaku sebagai ksatria, kalau aku yang berkoar-koar tentang aturan dan tradisi kembali berdiri untuk melawan maka akan sama saja, aku seharusnya sudah mati," ucap Alim.

"Tapi nyatanya tidak, terimakasih sudah mau mengalah cak, terimakasih atas kemenangan yang kau berikan padaku," ucap Ihsan saat Alim menarik kaumodaki untuk menopang dirinya.

"Maafkan aku Ihsan, aku terlalu teguh memegang tradisi, apakah aku gagal menjadi masmu," tanya Alim seraya berusaha duduk.

"Tidak cak, kau tidak gagal," ucap Ihsan sembari mencari batuan untuk bersandar dipinggir shesha.

"Kau tak perlu duduk dibawah tempatku, bukankah kau yang menang Ihsan," ucap Alim.

"Dharmayudha, tidak ada kemenangan didalamnya, begitu kita menabuh genderang perang dan meniup shanka, kita sejatinya sudah kalah cak," ucap Ihsan yang mulai terlihat menangis.

"Kau setuju dek, memang tak ada pemenang dalam perang, apa yang nanti harus kita lakukan untuk membina perdamaian," tanya Alim.

"Entahlah cak, aku juga bingung, mungkin kita tunggu sampai kita berlima dulu, baru kita bicara, aku lelah cak, bisakah kau menjagaku," tanya Ihsan sembari menyandarkan kepalanya di bebatuan.

"Iya, aku akan menjagamu, wahai garuda, wahai shesha, lindungi adikku dari panas dan hujan, dharmayudha sudah selesai, mulai sekarang Sang Hyang Bhatara Guru adalah tuan bagi kita, hormatilah dia, perlakukan dia yang kakinya lebih mulia dari kepalaku dengan sopan, sebagai Shangkara dia telah memberi pada Dunia lebih dari apa yang bisa dimimpikan oleh Narayana, lindungi dia yang akan duduk di takhta Maheshwara," ucap Alim.

Lihat selengkapnya