"Apa yang kamu lakukan sekarang Ihsan, apa kamu sudah makan sayang," gumam Shafa di pelataran rumahnya.
"Shafa, masuk nak, sekarang hujan, nanti sakit," ucap Rani sembari menghampiri anaknya yang basah kuyup terkena tempias hujan.
"Iya bu," sahut Shafa sembari berjalan menuju ibunya untuk memeluknya.
"Udah sayang, sampai kapan kamu mau menangis," ucap Rani.
"Entah bu, kapan dia akan memaafkanku," ucap Shafa.
Mendengar itu Rani hanya memeluk putrinya erat-erat, tak mencoba membalas karena tak tau apa yang harus dia katakan.
"Ibu...," gumam Shafa yang mulai tersedu.
Rani sekali lagi tak menjawab dan sekarang menuntun putrinya kedalam rumah dan mencarikan baju untuknya berganti. Hati sang ibunda sekarang campur aduk, disana terselip sedih saat melihat putrinya tak henti-hentinya menangis tapi juga rasa takut yang menghantuinya akibat memikirkan siapa yang membuat anaknya sedih.
...
Sementara itu di keraton Suralaya.
"Kau harus bersiap Ihsan."
"Shafa!?, ahh aku berhalusinasi lagi, hmm apakah dia bisa datang lagi," pikir Ihsan.
"Prabhu!!, kau ngapain, ayo bersiap, diskusi akan segera dimulai," ucap Anas.
"Iya pak, aku segera kesana," ucap Ihsan sembari berdiri dari sajadahnya.
Tak lama Ihsan merapikan bajunya dan segera berjalan menuju ruangan diskusi, menyusuri lorong-lorong keraton yang terus-menerus dibangun itu. Tak lama langkah Ihsan tiba-tiba terhenti di tengah jalan menyaksikan adiknya yang sedang membawa nampan makanan bersama para abdi keraton. Tepat setelah mereka semua lewatlah Ihsan segera mengikutinya memasuki ruangan rapat yang sudah dipenuhi para abdi keraton dimana dia akhirnya duduk ditengah memimpin jalannya diskusi tersebut. Didalam sana dia duduk bersama dengan keempat saudaranya, para perwira tinggi dharmayudha yang ingin bersuara serta para abdi keraton yang berlalu-lalang menyiapkan ruangan dan ikut menyimak jalannya diskusi.