Jum'at 22 agustus 2014, Garudapura.
"Fira, titip ya, buat masmu, ini ada punyamu juga," ucap Shafa sembari menyerahkan dua kotak berisi makanan.
"Kamu gak mau menyerahkannya sendiri mbak, mas Ihsan baru-baru ini murung terus, mungkin sebenarnya mas Ihsan merindukanmu cuman dia gak mau kelihatan saja," ucap Fira.
"Janganlah Fira, aku sudah diusir dari keraton, bukan hakku untuk datang kesana sampai dia sendiri menjemputku, udah ya, aku mau kerja dulu," ucap Shafa lirih sambil menyembunyikan mukanya.
"Iya mbak, aku juga sekolah dulu, hati-hati ya, dah," ucap Fira sambil meninggalkan tempat itu.
"Hati-hati juga Fira, titip ya," ucap Shafa diikuti acungan jempol dari Fira.
"Dah Shafa, ayo berangkat," ucap Rafi.
"Ayo, jangan sampai terlambat," ucap Shafa sambil tersenyum tipis dan mulai berjalan menuju vimana meski air matanya bercucuran.
"Hmm mungkin rindu itu benar-benar sangat menyakitkan baginya, lebih baik aku diam tentang ini," pikir Rafi sembari mengikuti jejak air mata Shafa menuju vimananya untuk berangkat kerja.
...
Sabtu, 23 agustus 2014, dini hari.
"Selamat ulang tahun Ihsan!!!," seru saudara-saudara Ihsan dengan riang.
"Terimakasih sudah mau mengingatnya rek," ucap Ihsan.
"Haha, tentu saja kami ingat. Eh tante Nita sama om Ikal belum bangun ya," ucap Alim.
"Belum tau cak, harusnya sudah bangun," ucap Ihsan.
"Wuih, pagi banget mereka bangun, pantas kau terbiasa bangun pagi Ihsan," ucap Yusuf.
"Ya, aku gak akan lahir shubuh-shubuh begini kalau mereka tak biasa bangun pagi, harusnya aku memberi hadiah untuk mereka tapi aku lupa, ah mereka bakal memaafkanku gak ya," ucap Ihsan.
"Mungkin, sifat pemaafmu itu pasti kau warisi dari seseorang dan kemungkinan besar itu adalah orang tuamu," ucap Steve.
"Kalau begitu sisi buasnya saat habis kesabaran itu juga!?," celetuk Lintang.
"Haha itu aku saja mas, kalaupun itu warisan harusnya aku belajar untuk menahannya," ucap Ihsan.
"Hmm itu wejangan pertamamu diumurmu yang baru bertambah ini, sungguh menenangkan mendengarnya, semoga aku bisa terus mendengarkan kebijaksanaanmu Ihsan," ucap Alim sembari memberikan sebuah hadiah untuk Ihsan.
"Woo, apa ini cak," tanya Ihsan.
"Bukalah, itu kan milikmu sekarang," ucap Alim.
Mendengar itu Ihsan segera membuka hadiah dari Alim dan melihat sebuah bibit tanaman kecil untuknya.
"Ini, biji kalpataru, woah makasih banyak cak," ucap Ihsan.
"Tanamlah, tanah subur yang kau kembangkan ini akan membuatnya tumbuh dengan cepat, mungkin ini tidak cukup untuk menebus dosa kita tapi setidaknya dengan ini kita berdua akan memberi udara segar untuk yang masih hidup, mungkin itu bisa sedikit meredakan hukuman kita dineraka kelak," ucap Alim.
"Ya cak, terimakasih, akan kutanam ditanah paling subur disini," ucap Ihsan.
"Hehe, aku juga ada, nih Ihsan, aku merasa ada yang kurang darimu kalau tidak ada ini, kubuat semirip mungkin dengan saat kubuat dulu," ucap Yusuf sembari menyerahkan sebuah trisula pada Ihsan.
"Heeh!!, kau membuatkannya lagi untukku, wuuh ini persis seperti yang kuterima darimu dulu, kau mengingat setiap detailnya dengan baik Suf, suwon yo," ucap Ihsan sambil mulai memainkan trisulanya.
"Yoi mamen, jangan kau pakai bertengkar lagi aja dengan Alim," ucap Yusuf.
"Hahaha, siap," ucap Ihsan.
"Kenapa masih bawa-bawa aku sih," ucap Alim.
"Itulah, oiya aku sudah buatkan sudharsana juga untukmu Lim," ucap Yusuf.
"Eh, kau bikinkan juga untukku, makasih lho," ucap Alim.
"Sama-sama mamen," ucap Yusuf sambil merangkul kedua saudaranya itu.