Hidup bagi Nathan adalah sebuah tantangan. Setiap hari ia harus siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan tiba dan berbagai hal yang selalu datang dengan kejutannya. Hal itu menjadi prinsipnya untuk terus menjalani kehidupan yang penuh dengan lika-liku. Apalagi saat Bapak meninggalkan Nathan dan keluarganya beberapa tahun lalu. Meski bapak telah berada jauh dari mereka, namun kenangan serta wangi Bapak abadi di rumah ini. Terutama di hati Mama dan anak-anaknya.
Kepergian Bapak nyatanya membekaskan luka mendalam untuk mereka, terutama Mama. Kadangkala Mama menangis seorang diri seraya memanjatkan doa karena merindukan Bapak. Sosok Bapak yang begitu baik melekat pada siapapun yang ditinggalkan. Mungkin Mama akan menangis bila merindukan sang suami, tapi berbeda dengan Nathan. Nathan mempunyai cara sendiri untuk mengenang Bapak. Kala malam tiba, Nathan selalu duduk di depan rumah sembari meminum segelas kopi hitam ditemani dengan gorengan buatannya. Dulu saat Bapak masih ada, Nathan selalu berbincang dengannya di sini. Bedanya dulu hanya Bapak yang menikmati kopi dan gorengan, sementara Nathan diam dan menunduk sembari mendengar wejangan Bapak. Kini setelah Bapak tiada, kebiasaan itu beralih padanya.
“Dulu bapak lebih nakal daripada kamu, Nat. Kamu mah masih mending.” Ungkap Bapak suatu hari.
Nathan melirik Bapak sedikit takut, sebab ia kembali melakukan kesalahan yang membuat Bapak dan Mama kecewa. Namun Bapak tak pernah menunjukkan kekecewaannya. Alih-alih marah atau menghukum Nathan, Bapak justru menceritakan kisah hidupnya lagi kepada Nathan, seperti biasanya, bermaksud menyampaikan satu pelajaran yang bisa Nathan terapkan. Bapak memang selalu punya kenangan untuk diceritakan kepada anak-anaknya yang ia harap dapat diterapkan sisi positifnya oleh mereka semua.
Bapak melanjutkan ceritanya. “Dulu pas bapak masih sekolah, bapak nakal banget sampe bikin guru kewalahan hadapin murid kayak bapak. Guru nyuruh bapak potong rambut, eh besoknya bapak malah ubah model rambut jadi metal, gini nih yang rancung ke atas kayak jerami yang di iket.”
Nathan menahan tawanya kala membayangkan gaya rambut Bapak dulu.
“Terus bapak pernah bolos pas jam pelajaran matematika, bapak sembunyi di gudang yang sering bapak dan temen-temen bapak sebut basecamp, sambil ngerokok. Gak lama, ketahuan sama guru yang terkenal galak banget. Udah gitu bapak dihukum suruh bersihin lapang yang kayak sawah. Bener-bener udah kayak tukang kebun waktu itu.” Bapak tertawa kecil mengenang masa itu. Matanya kemudian menerawang pada langit yang menaburkan banyak bintang.
“Tapi,” Bapak menjeda ucapannya, menyentuh pundak Nathan, “bapak pantang untuk ngelakuin hal yang bikin nenek kakekmu marah, apalagi sampai menangis. Se-nakal-nakalnya bapak, bapak tetap memegang teguh, bahwa menyakiti dan mengecewakan orang tua hukumnya haram.”
Nathan jadi menciut, perkataan Bapak yang disampaikan meski dengan nada lembut, namun cukup menampar Nathan. Sadar bahwa perlakuannya kali ini mengecewakan kedua orang tuanya.
“Kenakalan bapak juga sebenernya gak bisa ditoleransi dan dicontoh oleh kamu maupun adik-adikmu. Tapi bapak harap, kalian ambil sisi positif dari cerita masa lalu bapak. Nakal boleh, itu masamu, tapi jangan sampai kenakalan itu membuatmu menyakiti orang-orang yang selama ini menyayangi kamu.” Tutur Bapak setelah ia menyeruput kopi yang sudah tak lagi sehangat tadi.
“Bapak gak akan minta kamu untuk jadi anak baik-baik sesuai keinginan bapak. Jadilah diri kamu sendiri sesuai dengan apa yang kamu mau. Tapi jangan sampai kenakalanmu itu mengecewakan bapak dan mama. Nikmati masa mudamu dengan cara yang benar yaitu gak merugikan masa depanmu dan gak mengecewakan orang tua.”
Bapak menyentuh pundak Nathan, memandang anaknya yang kini sudah beranjak remaja. Padahal Bapak merasa kemarin Nathan masih seorang anak laki-laki yang belajar naik sepeda. “Bapak gak pernah ngelarang kamu untuk merokok, asal jangan berlebihan. Bapak juga gak pernah ngajarin kamu untuk minum alkohol, itu gak boleh, haram. Untung saja kamu gak dikeluarkan dari sekolah gara-gara perbuatan kamu dan kawan-kawanmu. Dimana pun kamu minum, di sekolah, di rumah, di tongkrongan, itu tetep salah. Jangan diulangi lagi, ya?”
Dengan berat serta rasa sesal yang mendekap dalam dada, Nathan mengangguk patuh. Ia kecewa dengan dirinya sendiri, dalam hati ia merutuk karena telah menjadi anak durhaka.
Setelah menyeruput kopinya yang tinggal setengah, Bapak menoleh ke arah anaknya lagi yang masih dengan setia menundukkan kepala. “Minta maaf gih sama mamamu.” Titah Bapak, yang tanpa diperintah pun Nathan tetap akan melakukannya.
Pesan itu selalu Nathan ingat sampai sekarang. Bahkan, kadangkala Nathan menangis mengingat bagaimana cara Bapak menyadarkannya. Bapak tidak pernah membentak, tidak pernah memukul, apalagi menyakitinya dengan kata-kata tak pantas. Cara Bapak mendidik anak-anaknya adalah dengan mengajaknya mengobrol berdua, mencaritahu alasannnya, setelah itu memberikan balasan yang menampar kesadaran dengan cerita-cerita masa lalunya. Kini sosok Bapak harus Nathan perankan untuk adik-adiknya yang masih kecil. Mereka sangat membutuhkan sosok Bapak pada diri Nathan. Karena bagaimanapun Nathan lah yang paling besar di keluarga itu.
Nathan Abraham, pemuda yang kini menginjak usia 20 tahun 5 bulan selalu menampakkan keceriaan sampai keanehannya di depan siapapun. Adik-adik Nathan adalah saksi dan korban dari sifat petakilan kakaknya itu. Mereka sering di dzolimi, hingga membuat mereka melakukan pembalasan kepada sang kakak. Sampai pada akhirnya, tawa, pertengkaran kecil dan hal-hal yang menghebohkan lainnya menjadi penutup aksi itu. Mama pun sampai tidak pernah lagi menegur dan membiarkan anak-anaknya itu karena sudah sangat terbiasa dengan kehebohan dan pertengkaran kecil mereka. Mama hanya ikut andil saat si bungsu merengek dan berakhir dengan dihukumnya anak-anak petakilan itu.
Nathan itu tidak terlalu tampan, tapi ia memiliki wajah yang manis dan enak dipandang. Apalagi saat senyumnya mengembang, muncul lesung pipi yang menjadi daya tariknya. Terkenal sebagai anak nakal di sekolah dulu, kini Nathan sudah tumbuh menjadi dewasa dan berubah drastis sesuai harapan bapak. Nathan di dewasakan oleh keadaan, namun Nathan tak pernah merasa terpaksa. Ia rela melakukan semuanya demi keluarga tercinta, terutama mama dan mewujudkan harapan-harapan bapak untuknya.
Semenjak SMA, kala bapak telah berpulang padaNya, Nathan berinisiatif untuk bekerja paruh waktu. Rela menggunakan waktu yang biasanya ia pakai untuk nongkrong demi mendapatkan sepeser uang guna menambal ekonomi keluarga. Mama awalnya selalu memarahi dan menasehati Nathan untuk fokus saja pada sekolahnya. Namun Nathan kukuh dan beralasan tak ingin melihat mama terbebani, meski mama selalu menutupi itu.
Nathan bekerja di berbagai tempat, mulai dari kuli panggul di pasar, pelayan di warung makan kecil, sampai bekerja sebagai tukang parkir. Ia tak pernah malu ataupun merasa sedih. Nathan malah makin banyak belajar, ternyata menjadi bapak tak semudah yang ia bayangkan.
Semasa hidup, bapak adalah seorang guru honorer dengan gaji pas-pasan dan bapak selalu mengajari anak-anaknya untuk menabung. Yang paling Nathan kagumi adalah bapak tak pernah menunjukkan lelahnya dan tak pernah mengeluh. Bagi bapak, apapun pekerjaannya itu adalah bentuk rezeki yang Allah berikan. Maka Nathan dengan ikhlas menjalani pekerjaannya sampai akhirnya ia bekerja secara tetap di sebuah kafe sebagai pramusaji sampai ia beranjak kuliah.
Setelah Nathan, lahirlah Adam Muhammad. Adam yang kini mengeyam pendidikan sekolah menengah atas selalu menjadi sasaran empuk Nathan untuk membersihkan motor kesayangannya yang diberi nama ‘John’. Pernah waktu itu saking kesalnya Adam, si John dicoreti dengan sebuah lipstik merah bekas mama yang kebetulan ia temukan di tong sampah. Dengan jahilnya Adam menuliskan ‘Abang freak’ di body John. Alhasil Adam harus lari terbirit saat Nathan mengamuk seraya membawa gayung dan masih ada sisa-sisa sabun di rambutnya. Ternyata yang melaporkan apa yang dilakukan Adam adalah adik Nathan yang kedua—Fadli Aditya Pramanta.
Adam itu anaknya paling bisa menyesuaikan dan mengerti keadaan. Kalau Mama sedang sakit dan Nathan sibuk dengan kuliah dan pekerjaannya, Adam selalu sigap membersihkan rumah dan menyiapkan sarapan pagi, sampai menjelang makan malam. Meski kekurangannya adalah Adam selalu berakhir babak belur karena diam saja saat dibully oleh teman-temannya di sekolah. Akibat sering mengalah dan memilih diam saat ditindas, Adam menjadi sasaran empuk pelampiasan teman-temannya. Soal tampang ia memang juara, tapi otot ia kalah telak. Padahal Adam cukup populer di sekolahnya, populer karena otak dan tampang, populer karena jadi kacung geng yang sering Nathan sebut geng tengil. Alhasil Nathan lah yang datang ke sekolah untuk kemudian memberikan pelajaran pada bocah-bocah tengil yang berani mengusik adik kesayangannya.
Masuk ke daftar anak ketiga Bapak dan Mama, si Fadli Aditya Pratama. Bocah SMP itu selalu menyebut dirinya tampan saat ia melihat pantulannya di mana pun. Entah itu di cermin, di baskom yang berisi air, kaca spion motor, bahkan pada kaca mobil yang ternyata ada orang di dalamnya. Demi isi dompetnya, Fadli akan melakukan apapun agar Nathan rela memberinya selembar uang meski hanya 10 ribu. Baginya, “Sedikit demi sedikit pasti akan menjadi bukit. Melaporkan saudaranya yang menjahili sang kakak pertama adalah caranya untuk menambah tabungan.” Meski mencak-mencak karena Fadli selalu meminta imbalan pada hal terkecil sekalipun, Nathan tetap merogoh receh di saku kolornya.