NATHAN

sastradanpena
Chapter #2

Penyakit Biro Jodoh

Kantin adalah pelarian bagi siapa saja yang merasa lapar atau penat karena belajar. Termasuk kelima serangkai yang berjalan memasuki kantin yang cukup luas dengan diisi deretan meja-meja di dalamnya. Kelima orang itu sontak menjadi sorotan, seakan magnet menempel pada diri mereka, menarik para besi untuk terpaku pada satu arah. Bagai boyband terkenal di segala penjuru dunia, mereka lantas mengundang bisik pada setiap mata memandang. Memilih duduk di tempat biasa yang sudah mereka tandai, kelimanya duduk santai sambil bergiliran membaca menu makanan dan minuman yang ada di kantin ini.

“Nih giliran lo yang harus bawain semua pesenan kita!” kata Baron kepada Dilan.

“Kok gue? Bukannya gue kemarin udah?”

“Itu gue! Jangan ngadi-ngadi lo, cepet gue laper!” sahut Felix cepat.

Dilan mendesis, meski begitu ia tetap menuliskan apa saja yang dipesan oleh mereka. Apa yang mereka lakukan ini sudah menjadi hal yang melekat, bagai tradisi. Karena kantin selalu penuh dan menghasilkan antrian, akhirnya mereka berlima sepakat untuk membuat jadwal piket antri di setiap harinya. Ide itu disepakati oleh semuanya tanpa ada yang merasa keberatan. Hanya saja Dilan selalu beralasan ini itu agar tidak mengantri panjang. Padahal mereka sebenarnya bisa saja pergi ke kantin fakultas lain untuk makan. Namun kelimanya memilih kantin ini secara paten sekalian untuk mencari kecengan baru, selain karena makanannya paling enak dari kantin-kantin lain.

“Kalian mau tahu gak gue kemarin pesen apa di olshop?” Baron menaikturunkan alisnya. Mengisi kekosongan ruang seraya menunggu Dilan kembali dengan pesanan.

“Halah paling barang-barang aneh lagi.” Balas Farzan.

“Lo salah, bre. Gue gak beli itu sekarang.”

“Terus apa?” tanya Felix.

“Nih.” Baron memperlihatkan pesanannya yang sedang dikirim oleh pihak penjual di aplikasi online shopnya.

Seketika Felix, Nathan, dan Farzan tertawa. Felix menggeplak kepala Baron dengan semena-mena. “Buat apa lo beli batu anjir, Ba! Lo kagak usah beli. Tuh di pot bunga banyak batu macem gitu!”

“Ba, kalau lo pusing gimana caranya ngabisin duit, mending ke gue in aja udah.” Nathan masih tertawa, ia benar-benar tak tahan dengan sikap nyeleneh sahabatnya ini. “Lama-lama kayaknya yang lo beli tuh angin deh.”

Kala mata Nathan mengedar, menyapu seluruh penghuni kantin yang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing, seketika matanya terhenti pada satu manusia yang duduk seorang diri tanpa ditemani siapapun. Hanya ada buku dan segelas es jeruk yang tengah diseruputnya. Seakan gadis itu adalah pesulap, Nathan benar-benar tak bisa mengalihkan pandangan darinya. Bahkan sampai Baron dan Felix memanggilnya berkali-kali, Nathan sadar ketika buku keramat Farzan mendarat empuk di lengan bahu kanannya.

“Awws! Apasih anjir main pukul segala!” Nathan meringis.

“Habis ngelamun lo! Ngelihatin apa sih?” tanya Farzan, diangguki oleh Baron dan Felix yang merasa pertanyaannya diwakili.

“Kagak lihat apa-apa.” Nathan menunduk, meski tak lagi melihat wajah gadis itu, bayangannya menempel diingatan Nathan. Cantik, satu kata yang tersirat dalam hatinya untuk memuji gadis yang pertama kali ia lihat.

Baron yang sadar Nathan melihat siapa, tersenyum miring. “Lihatin Renatha lo?”

Nathan mengerutkan keningnya, “Hah? Renatha siapa?”

“Tuh.” Nathan mengikuti arah pandang Baron, jadi namanya Renatha?

“Naksir lo?” tanya Baron.

“Kagak.” Sergah Nathan cepat.

“Bohong lo, kalau suka bilang aja. Buktinya tadi susah banget dipanggil, gue kira budeg, eh ternyata lagi terkesima sama cewek cantik di sana.” sahut Felix. Sementara Farzan hanya plonga-plongo tanpa mau nimbrung, kemudian kembali membaca buku.

“Kagak ah! Gue lagi lihatin orang-orang di sini, pede lu pada!”

“Kalau suka gue comblangin deh! Mau gak?”

Nathan menolak keras tawaran Baron. “Udah lah ribet kalian! Setiap gue lihatin cewek, pasti sangkaannya gue suka. Padahal kagak. Mentang-mentang gue jomblo karatan, sampe kalian susah payah cariin gue cewek. Nasib-nasib, padahal gue santai aja jadi jomblo.” Gerutunya dengan wajah menekuk.  

“Tapi cara lihat lo ke Renatha beda, Nat.” Balas Felix. “Tatapannya beuhh kek apa ya, emm kek orang yang terpesona banget dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Iya gak, Ba?”

Lihat selengkapnya