Ada satu alasan Nathan memilih tetap menjadi jomblo sejati setelah hubungan terakhirnya saat SMA kelas 10. Setelah kepergian bapak, Nathan sempat putus asa. Ia kehilangan arah dan jalan hidupnya. Kepergian bapak nyatanya memberikan jejak baik untuk Nathan. Pemuda itu perlahan berubah menjadi lebih baik. Kenakalan-kenakalan yang sering ia lakukan sampai mengecewakan bapak dan mama ia tinggalkan. Nathan pun memutuskan untuk mencari pekerjaan yang bisa dikerjakan sambil sekolah kala mengetahui tanggungan mama semakin berat. Semenjak itulah Nathan tak pernah lagi berpacaran. Karena baginya, ia tak punya waktu hanya untuk sekedar bercengkrama dengan perempuan.
Padahal Nathan cukup digemari di sekolahnya maupun di kampus. Bahkan ada beberapa perempuan yang secara terang-terangan mengungkapkan perasaannya kepada pemuda itu. Akan tetapi masih dengan alasan yang sama, sampai menginjak semester 6 Nathan tetap jomblo. Itulah mengapa sahabat-sahabatnya begitu gencar untuk menjodohkan Nathan. Selain jahil, mereka juga ingin melihat Nathan membahagiakan dirinya sendiri disela waktu yang padat.
Nathan memang merasa berbeda saat menatap Renatha. Namun bukan berarti pemuda itu jatuh cinta pada pandangan pertama seperti yang disebut-sebut pujangga. Ia hanya terpesona dan itu menjadi hal biasa baginya. Dan bayang-bayang wajah Renatha sampai saat ini pun masih terngiang-ngiang di ingatannya. Berulang kali Nathan menepis, mencoba untuk melupakan dan membiasakan diri kembali. Baginya itu hanya sesaat dan esok Nathan harus siap menutup telinga atas pancingan mengenai Renatha dari sahabat-sahabatnya.
“Nat, lo gak cape apa kerja sambil kuliah?” tanya Gilang—rekan kerjanya. Di kafe ini dia bekerja sebagai barista.
“Cape sih, cuman ya gimana lagi. Gue gapapa kok cape sekarang, semoga suatu hari nanti gue bisa bersantai sambil memetik hasil dari jeri payah gue selama ini.” Ujarnya kemudian ia amini dalam hati.
Gilang tersenyum bangga pada Nathan yang selama bertahun-tahun ini sudah menjadi patner kerja dekatnya. “Emang lo ya kalau lagi waras ngomongnya bikin gue terharu mulu.”
“Sembarangan lo.” Kekeh Nathan.
“Terus kapan nih bawa cewek? Gak ngiri apa lihat pelanggan kafe yang bawa pasangan?” Selain sahabat-sahabatnya, Gilang adalah salah satu spesies yang sama menyebalkannya dengan mereka. Hanya saja bedanya Gilang tak se bar-bar trio biro jodoh. Dia cukup kalem dan sekedar memancing Nathan pada pembahasan mengenai pasangan.
Nathan melempar serbet yang dengan sigap ditangkap Gilang.
“Jangan-jangan lo gay, Nat.” Celoteh Gilang dengan pandangan membuntuti Nathan yang berjalan ke arah dapur. Nathan tahu bahwa Gilang hanya bercanda.
“Lo aja! Gue masih normal!” ujarnya dengan nada tinggi karena jarak.
Nathan sekali lagi menggelengkan kepala tak habis pikir. Selain Gilang dan ketiga sahabatnya, ia berharap pada Tuhan untuk tidak mengirimkan lagi orang seperti itu pada kehidupannya. Sungguh Nathan jengah. Padahal menjadi jomblo begitu lama tak membuatnya resah. Justru ia menikmati masa kesendiriannya dan fokus pada keluarga. Tapi bukan trio biro jodoh namanya jika mereka menyerah begitu saja.
“Kali ini harus berhasil!” Pungkas Baron kepada dua sekutunya.
.........
“Hei kenapa kamu kalau nonton dangdut sukanya bilang..”
“BUKA DIKIT JOS!” Sahut Adam dan Fadli dengan penuh semangat.
Lagu Juwita Bahar itu mengalun dengan dentuman yang dihasilkan oleh volume full ulah Adam dan Fadli seraya bergoyang di atas meja. Saking semangatnya, Fadli sampai memutar-mutar bajunya yang sengaja ia lepas dan hanya menyisakan kaus putih oblongnya. Mereka hari ini terselamatkan karena mama masih bekerja. Jika ada mama, mungkin saja mereka akan dicubit mama sampai mereka minta ampun.
Sementara Reina menutup telinganya sambil terus meminta volume untuk dikecilkan. Fokus menggambar dua gunung dan satu gubuk di tengah sawahnya harus buyar karena ulah kakak-kakaknya. Dia nyerocos, mencak-mencak, sampai melempari krayon kepada mereka yang dengan sigap menghindar. Tapi bukan Adam dan Fadli jika mereka mendengar protesan Reina. Mereka malah lebih bersemangat menggoyangkan tubuhnya mengikuti irama musik yang berdentum-dentum itu. Bahkan Adam tak segan menyanyi dengan nada tinggi meski suaranya lebih baik menjadi bakat yang dipendam saja.