Masih dengan ocehan yang sama, akhirnya Nathan bisa bernapas lega sebab trio biro jodoh itu disibukkan dengan organisasi masing-masing. Terkecuali Farzan yang masih mempertahankan karakternya untuk menentang dan berbeda pendapat dengan trio itu. Kini kaki jenjangnya melangkah menuju parkiran kampus di bagian tengah yang diapit oleh fakultas bahasa dan fakultas seni. Sesekali ia menyapa teman seangkatan dan seniornya di kampus dengan ramah. Pun satpam yang berpatroli di sekitar parkiran.
“Eh mang makin ganteng aja.” Seru Nathan kepada satpam yang bernama Asep. Ini memang nama asli dari orangtua mang Asep, bukan panggilan Nathan seperti kepada Felixio dengan semena-mena.
Sudah akrab karena kadangkala mereka ngopi bareng sambil membahas politik dunia—yang padahal Nathan tak terlalu paham dengan politik, dia cuman manggut-manggut saja, jadi Nathan tak canggung lagi untuk menyapa mang Asep.
“Ah kamu bisa aja. Pulang?”
“Mau kerja mang, biasa.”
“Rajin amat, Nat. Jadi inget mamang dulu pas sekolah, sambil kerja.”
“Ya jelas dong, mang.” Nathan menaikturunkan alisnya. “Mamang tuh panutan Nathan. Kalau Nathan hilang arah, Nathan panggil mamang 3 kali terus minum kopi.”
Mang Asep menatap tak percaya kepada Nathan. “Wah iya gitu?”
Dengan polosnya Nathan menjawab, “Enggak, mang, canda. Emang mamang ini jin apa?” Yang langsung ditepuk pundaknya oleh mang Asep.
Ditengah perbincangan itu mata Nathan berhenti pada satu gadis yang tengah memberengut seraya menatap motornya sendiri. Nathan yang penasaran, mendekati gadis itu setelah berpamitan kepada mang Asep. Entah sihir apa yang membuatnya tergerak mendekati gadis itu. Atau mungkin saja pancingan trio biro jodoh itu berhasil menggaet hatinya untuk mendekati Renatha secara perlahan? Tetapi yang pasti, Nathan adalah manusia yang akan membantu sesama jika berada dalam kesulitan.
“Kenapa?” tanya Nathan tanpa menyebut namanya. Ia tak ingin disebut so kenal oleh Renatha yang notabenenya baru ia temui akhir-akhir ini setelah 5 semester kuliah di sini.
“Gak tahu, gak mau nyala.” Jawab Renatha tanpa melihat Nathan. Matanya fokus ke arah mesin motornya yang tak mau menyala.
“Coba sama gue.” Nathan berjongkok, membenarkan sesuatu yang tidak Renatha ketahui. Tak berniat bertanya, Renatha hanya berharap motornya dapat menyala setelah ini. Beberapa saat kemudian motor Renatha berhasil Nathan nyalakan. Binar jelas terpampang di wajah Renatha. Nathan yang sempat melihat binar itu tersenyum tipis tanpa disengaja.
“Makasih ya udah bantu gue.” Ujarnya tanpa senyuman sama sekali. Wajahnya begitu datar dan dingin. Persis seperti yang ia lihat kali pertama di kantin.
Nathan mengutas senyumnya. “Sama-sama, hati-hati ya pulangnya.”
Renatha mengangguk. Setelah dibantu Nathan untuk mengeluarkan motor gadis itu dari jajaran motor lainnya, Renatha melaju bersama motornya meninggalkan Nathan dengan senyum tipisnya.
.........
“Yang bener, Sep! Aw! Sakit anjrit malah dijepretin!” omel Nathan sambil mengusap-ngusap kepalanya pada pelaku yang malah tersenyum miring.
“Habis lo ribut mulu! Salah siapa kalah main ludo?” seru Felix.
“Sekarang giliran gue.” Farzan menggosok-gosokan tangannya sebelum menekan start agar dadu berputar pada tab milik Dilan. Dengan jantung yang berdegup kencang ia berharap token warna birunya bisa mendarat di finish tanpa harus mundur atau terbunuh oleh token lain. Namun sangat disayangkan, perludoan tidak berpihak padanya hari ini. Kala token Baron berada di kotak yang sama dengan token Farzan, alhasil Farzan harus mendapatkan hukuman berupa diikat rambutnya dekat karet kecil yang sengaja Dilan sediakan.
“Hahaha sini lo Marzan.” Dilan nampak sangat puas saat menghukum Farzan. Dia sengaja memperbanyak ikatan, sementara Farzan terus memekik kala rambutnya ditarik.
Kegiatan random ini selalu mereka lakukan untuk mengisi jam kosong kala dosen belum masuk atau hanya sekedar mengisi kekosongan saat mereka nongkrong bersama. Alih-alih pergi nongkrong di luar kelas, mereka selalu melakukan apapun seperti main catur kecil yang selalu Farzan bawa, main uno kartu, monopoli dan seperti sekarang main ludo di iPad Felix. Tidak seperti pemuda pada umumnya, mereka selalu memainkan permainan yang notabenenya dimainkan oleh anak kecil.