Sudah hampir satu jam Rania benar-benar fokus pada laptopnya. Dia masih saja menunggu sesuatu dan mencari beberapa cara.
“Biasanya lima belas menit semua beres, apa aku harus meminta bantuan orang lain?” Rania menggaruk kepalanya sebentar, beberapa kali dia juga memegang hidungnya yang terasa gatal. Rania gusar dengan apa yang terjadi. Perempuan itu pada akhirnya membuka sebuah situs dan kemudian memberikan sebuah feed untuk meminta bantuan di sana. Perempuan itu sepertinya tidak lagi ragu ketika mulai menuliskan permintaan bantuan. Tapi setelah membaca ulang kalimat yang dia tuliskan, Rania terlihat berfikir dan kemudian terdiam menatap lagi. Perempuan itu menghapus kalimat yang tertulis, mengurungkan niatnya untuk meminta bantuan.
“Aku akan coba lagi nanti malam, kalau belum berhasil baru aku pikir lagi.” Rania kemudian menutup situs dan beralih ke beberapa data yang dia buka. Perempuan itu memang selalu memeriksa beberapa hal tentang tetangga sekitarnya meski tidak ada yang tahu. Rania memang merasa perlu berhati-hati tentang siapa yang tinggal di dekatnya. Selain karena pekerjaannya, dia tahu resiko jika sampai apa yang dilakukan akan diketahui.
“Nia? Kamu di dalam? Gak lupa jemput ponakanmu kan?” Sebuah suara dari luar pintu kamar perempuan itu membuat Rania tersadar. Dia mengambil ponsel pintarnya dan melihat jam di sana. Rania kemudian bergegas mengganti bajunya dan langsung mengambil kunci motor yang ada di meja riasnya.
“Rania lupa.” Perempuan itu sedikit berteriak setelah keluar dari kamar sambil berjalan cepat menuju ke garasi rumahnya. Segera dia mengeluarkan motornya yang bukan matic dari garasi.
“Permisi.” Seorang laki-laki berdiri di dekat pintu garasi rumah Rania. Perempuan itu mengira jika kurir paket sedang melakukan pekerjaannya. Rania kembali meletakkan motornya dengan standar. Perempuan itu tidak sadar masih menggenakan helm dan kemudian mendekat ke arah laki-laki yang berdiri di depan garasinya.
“Ya?” Rania bertanya singkat. Laki-laki itu tersenyum dan tentu saja membuat Rania tertegun sebentar. Ada tatapan kosong yang mengejutkan. Senyum laki-laki itu tentu saja membuat Rania terpana.
“Begini, saya tetangga yang baru pindah di depan rumah.” Laki-laki itu kemudian menyodorkan tas kain berwarna coklat. Rania hanya berfikir itu adalah makanan perkenalan dari tetangga. Tapi itu bukanlah sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh warga yang tinggal di lingkungan Rania.
“Ah… Tidak perlu repot-repot.” Rania menerima tas kain berwarna hitam itu dan tersenyum, meski kemudian kaca helmnya justru turun, sungguh sesuatu yang membuat Rania merasa malu, meski dia tidak melakukan itu dengan sengaja.
“Rania.” Perempuan itu mengulurkan tangannya untuk berkenalan.
“Ah… Nugrah.” Laki-laki itu menyebutkan sebuab nama yang sedikit asing dan sulit. Rania hanya menggumamkan pelan dan tersenyum berjabat tangan.
“Kalau begitu saya permisi, sepertinya Mba mau pergi?” Sebuah kalimat dari Nugrah membuat Rania tersadar jika dia tadi hendak menjemput keponakannya.
“Ah, iya benar.” Rania segera berbalik dan kemudian berjalan menuju ke tempat dimana motornya berada, dia kemudian menaiki motornya dan menyalakan mesin motor tersebut. Rania benar-benar bergegas menuju ke sekolah keponakannya.