Tak terasa sudah sebulan lamanya Naura bersekolah di tempat barunya. Dan selama sebulan itu juga, hubungannya dengan Ayunita dan Bayu semakin erat. Ayunita juga tidak bersikap cuek lagi. Gadis itu berubah menjadi sosok yang sangat cerewet.
Seperti saat ini misalnya. Ketika ia mengatakan lewat bahasa isyarat bahwa dirinya lupa sarapan pagi karena telat bangun. Ayunita kini tengah mengomel panjang padanya. Dan Naura hanya bisa pasrah mendengar omelan panjang Ayunita yang cukup memanaskan telinganya.
“Lo nggak tahu hari ini ada jam olahraga? Kalo lo pingsan karena nggak sarapan gimana?” Ujar Ayunita tampak panik sendiri. Naura hanya tersenyum geli melihatnya. Ayunita yang melihat Naura tersenyum, melotot galak.
“Jangan senyum-senyum! Gue lagi serius, nggak lagi bercanda.” Ujar Ayunita membuat Naura menganggukkan kepalanya.
Ayunita kemudian menarik Naura keluar dari kelas. Naura tampak bingung, kemudian menepuk-nepuk lengan Ayunita agar menghentikan langkahnya. Ayunita menghentikan langkahnya dan menatap kesal Naura.
“Apaan lagi?” Tanya Ayunita.
‘Kita mau kemana?’ Tanya Naura dalam bahasa isyarat.
Sekarang, Ayunita sudah mulai pandai mengerti arti-arti pergerakan tangan yang ia lakukan. Ayunita mempelajarinya dari Bayu mengingat Bayu yang paham dengan Bahasa Isyarat.
“Bolos sekolah.” Jawab Ayunita asal, membuat mata Naura melotot saat mendengarnya. Naura kemudian melepas tangan Ayunita yang memegang tangannya.
‘Aku nggak mau! Kalau kamu mau bolos, bolos aja sendiri.’ Ujar Naura membuat Ayunita mendengus melihatnya. Tangan Ayunita tergerak menyentil dahi Naura.
“Dasar goblok,” Ayunita berkacak pinggang, “Nggak mungkinlah gue ngajak lo buat bolos sekolah. Bisa-bisa gue diomeli sama nyokap lo.” Ujar Ayunita membuat Naura semakin bingung. Ayunita menghela napas pelan.
“Ke kantinlah, ogeb. Lo ‘kan nggak sarapan pagi. Kalo lo ntar pingsan di lapangan, gue juga yang ribet harus ngangkat lo ke UKS.” Lanjut Ayunita membuat Naura mengangguk paham.
Ayunita kembali menarik Naura menuju ke Kantin. Belum sampai kaki mereka menginjak lantai Kantin, bel masuk berbunyi dan membuat mereka saling bersitatap.
“Mampus dah lo! Mending lo ntar minta izin aja sama Pak Dadang biar nggak ikut ujian praktek.” Ujar Ayunita yang dijawab gelengan oleh Naura.
‘Kamu tenang aja. Aku kuat kok.’ Ujar Naura dengan bahasa isyaratnya membuat Ayunita mendecih pelan kala melihatnya.
“Awas aja kalo lo ntar pingsan di lapangan. Gue biarin lo tergeletak di lapangan.” Ujar Ayunita membuat Naura hanya tertawa tanpa suara saat mendengarnya. Ia tahu pasti, Ayunita tidak akan setega itu.
-ooo-
“Oke semuanya. Kita lakukan pemanasan dulu. Hitungan dua kali delapan.” Ujar Pak Dadang membuat seluruh siswa lelaki tampak menghela napas panjang.
“Yaelah, Pak. Nggak bisa langsung mulai aja? Nggak perlu pemanasan, badan saya udah hot kok, Pak.” Ujar salah satu siswa membuat teman-temannya tertawa saat mendengarnya. Pak Dadang berkacak pinggang sambil menatap siswa yang barusaja berbicara dengannya.
“Jangan banyak protes! Semakin lama kalian menunda waktu, semakin lama juga saya kasih kalian bermain.” Ujar Pak Dadang membuat mereka menyeru kecewa.
“Dua kali delapan.” Ujar Pak Dadang lalu mereka memulai kegiatan pemanasan mereka. Naura sedaritadi merasa perutnya sakit sekali. Naura hanya bisa menggigit bibir bawahnya demi menahan rasa sakitnya saat ini. Ia hanya bisa menyesali tindakannya yang tidak ingin sarapan pagi tadi.
“Pak!” Seru Ayunita mengangkat tangannya. Pak Dadang yang tengah menatap muridnya agar melakukan pemanasan langsung menatap Ayunita.
“Ya. Ada apa, Ayunita?” Tanya Pak Dadang membuat aktivitas pemanasan itu terhenti seketika. Seluruh murid tampak menatap kearahnya.
“Naura lagi nggak enak badan, Pak. Perutnya lagi sakit.” Ujar Ayunita kemudian pandangan Pak Dadang terarah kearah Naura. Naura yang ditatap tampak gugup.
“Benarkah begitu, Naura?” Tanya Pak Dadang, kemudian dijawab anggukan kaku oleh Naura. Pak Dadang kemudian menyuruh Naura untuk duduk saja.
Para murid yang lain tampak protes, namun segera diamankan oleh Pak Dadang dengan mengancam nilai mereka. Mereka kemudian melanjutkan pemanasan mereka.
15 menit berlalu. Akhirnya pemanasan yang cukup membosankan itu berakhir juga. Pak Dadang kemudian memanggil seluruh siswa laki-laki untuk berkumpul di lapangan, sementara siswi perempuan beristirahat terlebih dahulu. Pak Dadang kemudian membagi mereka menjadi dua tim karena permainan yang mereka pilih adalah permainan Sepak Bola.
Merekapun kemudian menuju ke tempat mereka masing-masing. Permainan Sepak Bola pun dimulai. Mereka saling memperebutkan, mengejar bahkan menendang berkali-kali demi mencetak gol.
30 menit berlalu. Akhirnya permainan mereka berakhir dengan skor 3-5. Pihak yang menang memberikan hukuman kepada pihak yang kalah, seperti yang biasa mereka lakukan. Hukuman yang biasa diberikan yaitu push up 15 kali.