“Kalau kamu melawan Mama terus, kapan kamu bisa jadi istri yang sholehah sih, Nay?”
Okay, mungkin kalimat itu terdengar terlalu lebay, tapi yang pasti kalimat itu memang beberapa hari ini selalu terngiang-ngiang di alam bawah sadar Nay. Salah satu bukti bahwa Nay memang masih sangat menghormati ibunya.
Ya, kalimat itu memang dilontarkan oleh mama ketika Nay mengabarkan niatnya untuk melanjutkan kuliahnya, mengambil gelar doctoral.
“Kalau kamu terus-terusan egois sama diri kamu sendiri, kamu bener-bener udah nggak mikirin Mama dan Ayah kamu.”
Nay menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras. Aduh, ini apa sih. Padahal kan maksudnya Nay ingin memberikan kabar gembira buat Mama dan Ayahnya. Tesis Nay dinyatakan lulus dan dalam waktu 3 minggu ke depan ia bisa mengikuti wisuda. Bukan itu saja, Nay juga dapat rezeki nomplok dari professor pembimbingnya untuk bekerja menjadi asistennya di Leiden University, Belanda. Itu sungguh rezeki yang sulit sekali untuk ditolak.
“Lalu kapan kamu mulai memikirkan untuk berumah tangga?”
Aaarrgghh… Nay lagi-lagi memukul-mukul pelipisnya dengan kedua tangannya. Bener-bener, deh. Kapan suara-suara ini akan hilang dari pikirannya.
Blub… Blub… Blub… Blub…
Lampu penanda di layar laptopnya berkedip-kedip memberikan isyarat. Nay memandang sekilas ke arah layar laptopnya yang berubah tampilan dari warna hitam menjadi gambar sesosok wajah yang sedang cengar-cengir sambil makan es krim.
“Nince…”
Nay menghela napas berat. Ah, Alvas.
“Yes, sir. May I help you?”
“Bete banget mukamu. Nggak lulus ya tesisnya?” Cengiran Alvas makin lebar di layar.
“Sembarangan! Nggak yakin banget sih sama kemampuan aku. Gini-gini, calon professor tahu!” cibir Nay kesal.
Alvas tergelak pelan. “Trus, itu kenapa muka sampai ditekuk gitu?”
“Bete.”
“Udah tahu. Bete kenapa? Sama siapa?”
“Sama kamu!” Nay langsung mematikan layar laptopnya sembari beranjak keluar dari kamar.
Lagi malas aja dirinya berceloteh ria dengan Alvas. Hati dan pikirannya memang lagi bergejolak. Antara senang dan sebal. Antara pengen lonjak-lonjak dan nangis nggak jelas. Duuhhhh….
***
“Jadi bagaimana keputusannya?” Prof. Mayden memandang Nay dari balik kacamata bulatnya.
Nay tersenyum kecut. “Saya belum bisa kasih keputusan, Prof.”
“Hm, saya butuh segera jawaban kamu, Miss Zulfira. Jika kamu memang tidak bersedia, saya harus mencari orang yang bisa menggantikan kamu,” kata Prof Mayden tegas.
“Yaaa… baik, Prof. Tolong kasih saya waktu 3 hari lagi untuk memutuskan,” pinta Nay.
Prof. Mayden mengerutkan keningnya. Tatapannya tajam memandang Nay.
“48 jam, Miss Zulfira. Mulai detik ini.”
Prof. Mayden berlalu meninggalkan Nay yang masih senyum-senyum kecut. Dosennya yang satu ini memang susah-susah gampang diajak negosiasi.