Pagi merambat perlahan di jendela kamar Ayrin, membawa serta cahaya jingga yang lembut. Namun, di hati Ayrin, masih tersisa abu dari api yang pernah membakar habis kepercayaannya. Sudah hampir satu tahun sejak Ayrin menutup babak menyakitkan itu, babak di mana ia menemukan kekasihnya, Bara, berbagi tawa dan sentuhan dengan perempuan lain di belakangnya. Rasa sakit itu tak langsung hilang, ia merayap pelan, kadang menusuk di saat-saat tak terduga, seperti pagi ini. Memori tentang senyum Bara yang menipu, janji-janji manis yang hancur berkeping, dan perasaannya yang remuk redam, masih terasa begitu nyata.
Ayrin bangkit dari ranjangnya yang nyaman, melangkah perlahan ke arah cermin. Mata lelah dengan lingkaran samar di bawahnya menatap pantulan dirinya. Ada guratan kesedihan yang tak bisa ia sembunyikan sepenuhnya. Ia menghela napas panjang, berusaha mengusir bayangan Bara yang masih sesekali menari di benaknya, "Sudah cukup," bisiknya pada diri sendiri, suaranya pelan dan penuh tekad. "Hidup harus terus berjalan. Masa lalu sudah berlalu. Mari fokus untuk masa depan.”
Ayrin bekerja di sebuah kantor konsultan di Bandung. Tekanan pekerjaan yang tinggi justru membantunya mengalihkan pikiran dari rasa sakit. Ia juga kembali menekuni hobi lamanya, menulis. Puluhan cerpen dan beberapa draf novel yang tersimpan di laptopnya menjadi saksi bisu transformasinya; dari cerita-cerita melankolis dan karakter yang penuh konflik di awal masa penyembuhan, perlahan-lahan berubah menjadi kisah-kisah yang lebih ringan, penuh harapan, dan dengan akhir yang bahagia. Teman-temannya, yang selalu setia menemani, sering mengajaknya keluar, memperkenalkan pada banyak laki-laki baik dari berbagai latar belakang. Ayrin mencoba membuka hati, mencoba mengenal, bersosialisasi, dan sesekali menerima ajakan kencan. Namun, selalu ada dinding tak kasat mata yang menghalanginya untuk melangkah lebih jauh. Seolah-olah luka lama itu masih mengeluarkan bisikan-bisikan sinis, mengingatkannya untuk berhati-hati, untuk tidak mudah percaya, dan untuk melindungi hatinya dari kemungkinan terulang kembali rasa sakit yang sama.
Malam itu, setelah pulang kerja dan menyelesaikan makan malam yang sepi, Ayrin membuka laptopnya. Mengetik sebuah kata di atas keyboard, mencari sesuatu yang berbeda, sesuatu yang mungkin bisa mengubah rutinitasnya. Aplikasi pencari jodoh. Ia tahu ini mungkin terdengar putus asa bagi sebagian orang, sebuah langkah terakhir bagi mereka yang kesulitan menemukan pasangan secara konvensional. Tapi Ayrin merasa, setelah satu tahun berlalu dan usaha mencoba mengenal orang baru secara langsung tak membuahkan hasil, sudah saatnya ia mengambil inisiatif yang lebih serius. Ia ingin menantang dirinya sendiri, keluar dari zona nyamannya. Aplikasi Tinder menjadi salah satu pilihannya yang paling populer.