Kala teringat itu semua, aku mencoba memakainya. Karena dalam sebuah pepatah dikatakan bahwa senjata paling berbahaya adalah bahasa. Dengan bahasa siapapun bisa ditipu. Jika kau ingin menguasai suatu negeri, pelajarilah, dan kuasailah bahasanya. Jadi itu lebih dari sebuah senjata biasa.
Aku mencoba menggunakannya untuk pertama kalinya. Berharap bisa berkomunikasi dengan dua makhluk besar, yang tingginya kurang lebih dua meter itu. Aku yakin tubuh mereka terbuat dari molekul awan aneh. Sekarang mereka dihadapanku. Menunggu kepastian apa yang hendak mereka lakukan kepadaku.
“Aku di mana?” Aku mencoba betanya sebaik mungkin. Barangkali mereka mau berdamai, “Aduh semua badanku terasa sakit. apakah di sini ada tempat berobat?” Keluhku agar mereka terlihat iba kepadaku.
Aku menguatkan diri untuk berkomunikasi dengan mereka. Walau sebenarnya aku sangat takut. Karena dulu aku sering berkomunikasi dengan pasien berbadan besar, yang sering membentak dokter dan suster di rumah sakit. Membuatku jadi sedikit terlatih, mengahadapi makhluk besar ini.
“Kenapa kamu bisa sampai di sini?” Tanya salah seorang dari mereka padaku, yang berbadan lebih besar dan tinggi. Aku yakin dia kakaknya,
“Ayo tinggalkan saja dia Jingga, aku takut.” Bisik adik kecilnya ketakutan,
“Pesawatku kecelakaan, jadi aku terlempar keluar. Dan aku tidak tahu kenapa bisa sampai di sini” Balasku kepada yang berbadan besar itu, suasana hening, dan ia melirikku tajam. Sementara adik kecilnya ketakutan,
Mereka berdiskusi kembali setelah mendengar ucapanku, dan salah seorang dari mereka, ingin membawaku ke rumah paman, yang mereka sebut.
“Lihat apa yang dikatakan makhluk ini Rubi. Pesawat? Entah apa itu” Dia menoleh kepadaku. Kemudian memutar pandangannya kepada makhluk satunya, yang sedang ketakutan itu, “Ini akan menjadi penemuan hebat Rubi”
“Tidak Jingga, kalau saja kepala negeri tahu, kita akan dihabisi. bersama manusia itu”
“Kita tidak akan menyerahkannya kepada kepala negeri, kita bawa saja ke tempat pamanmu” Jingga memberi usul tegas,
“Dia tidak akan menerimanya” Rubi bukan pembuat onar seperti Jingga, ia selalu memikirkan dampak kedepannya,
“Kita coba saja dulu” Jingga meyakinkan Rubi. Sepertinya bukan, itu tepatnya pemaksaan halus.
“Jangan, Jingga! aku takut”
“Sudahlah, kalau kau tidak mau bantu, terserah! aku akan bawa dia sendiri” Ketus Jingga kesal. Nadanya mulai naik,
Setelah berdiskusi. Yang kerap dipanggil Jingga itu, menoleh lagi kepadaku. Sudah mengambil keputusan terbaiknya. Apapun itu, dia akan tetap keras kepala dengan keputusannya.
“Ayo. ikut! kami akan mengobatimu” Serunya kembali setelah beberapa menit berdiskusi,
“Sepertinya kakiku patah, aku tidak bisa berjalan.” Aku mencoba berdiri tapi tidak bisa,
Yang berbadan besar itu menggendongku seperti layaknya ibu menggendong bayi 7 bulan. Sepertinya aku akan dibawa ke paman yang mereka bicarakan. Adik kecilnya masih ketakutan. Berjalan di belakang kakaknya, seraya melirikku sesekali.
Aku tidak tahu siapa paman yang mereka maksud. Tapi dalam perjalanan aku memperhatikan sekitar. Dan aku melihat banyak bangunan, semuanya terbuat dari molekul awan yang persis sama, seperti tubuh mereka. Kala itu, aku sangat yakin, kalau aku tidak berada di bumi. Apakah ini akhirat? atau semacamnya? itulah yang ada dalam benakku.
Mereka terus saja berjalan, dan akhirnya berhenti di sebuah rumah. Rumah Putih yang sudah kotor dengan bercak-bercak kecil. Pintunya besar dan tinggi. Tapi aku rasa mereka tidak akan menganggapnya besar, karena ukuran badan mereka, yang juga sama besarnya. Mereka mencoba mengetuk pintu itu beberapa kali. Kemudian tak berapa lama, sosok makhluk seperti mereka keluar. Sepertinya lebih berantakan dari pada mereka, tidak terurus tepatnya, tapi lebih tinggi dan lebih dewasa.
“Ada apa kalian datang ke sini?” Tanya makhluk pemilik rumah itu. Seraya berdiri depan pintu rumahnya. Sepertinya dia tidak akan membiarkan kami masuk,