Necro War - Blade of Legacy

I Wayan Satya Dharma Yudistira
Chapter #1

First Contact

Ini dia, babak final dari turnamen berpedang Spadno-Hizashi. Turnamen yang diselenggarakan di Le Grande Colloseum ini bertujuan untuk mempererat hubungan antarnegara di Aliansi Tritunggal. Turnamen ini diselenggarakan oleh Kerajaan Spadnum dan Kekaisaran Hizashi, dan diikuti oleh lima negara. Negara-negara tersebut adalah Kerajaan Spadnum, Kekaisaran Hizashi, Kerajaan Scutum, Kerajaan Suci Warden, dan Kekaisaran Taiyanglong.

Aku, Kaminari, adalah seorang murid sekolah militer Akademi Cahaya Matahari di Kekaisaran Hizashi. Kebetulan kelasku adalah perwakilan yang ditunjuk untuk membawa nama Kekaisaran Hizashi dalam turnamen ini. Aku kini berada di babak final. Berdasarkan papan skema, lawanku yang berikutnya adalah seseorang bernama Centra yang berasal dari Spadnum. Ia melaju ke babak final setelah mengalahkan ketua kelasku, Onimaru.

10 menit sebelum pertandingan dimulai. Aku sudah berada di ruang ganti, memeriksa dan membersihkan pedangku. Sebelumnya, teman-temanku bersama guruku datang memberikan dukungan. Antares yang merupakan guruku di akademi memberikan dukungannya tepat sebelum teman-temanku datang. Kemudian ada Onimaru dan Taka, yang merupakan ketua dan wakil ketua kelas, memberikan dukungan juga. Onimaru berpesan padaku untuk berhati-hati pada Centra. Kemudian ada Nagisa, Fuyuka, dan Yamada juga datang.

Sembari mengelap bilah pedangku, aku mengingat-ingat kembali pertandingan semifinal antara Onimaru dan Centra. Aku menonton pertandingan itu. Kami sebenarnya sempat berharap Onimaru akan mendapatkan tiket menuju babak final untuk bertanding melawanku, tetapi sepertinya harapan itu memang harus kandas setelah Onimaru dibuat bertekuk lutut oleh Centra.

Pada awalnya, Onimaru terlihat lebih unggul dari Centra. Ia terus memberikan tekanan demi tekanan. Dengan ketahanan yang kokoh dibarengi penguasaan teknik berpedang 4 elemen milik Onimaru, ia terus memojokkan Centra. Saat itu, aku sempat bingung dan tidak terima dengan hasil itu. Tetapi, setelah memerhatikan sebuah detil kecil, maka jawabannya jelas. Detil itu adalah waktu. Centra berhasil mengulur waktu hingga Onimaru kehabisan tenaga. Setelah Onimaru kelelahan, giliran Centra yang memberikan tekanan. Centra sedang bertaruh saat itu dan dia berhasil.

Tanpa kusadari, tanganku mengelap bilah pedangku dengan cukup kencang. Kain yang kugunakan robek karenanya. Jantungku berdegup kencang, tanganku juga gemetar. Aku mengatur kembali napasku. Pintu ruang gantiku kemudian diketuk, membuatku sedikit terkejut. “Tuan Kaminari, sudah waktunya pertandingan. Dimohon untuk segera menuju arena.”

Aku menyarungkan pedangku dan membuka pintunya. Seorang petugas berdiri di depan pintu ruang ganti. Ia membungkukkan badannya padaku dan memintaku untuk mengikutinya. Selama berjalan, aku kembali mengingat-ingat pertarungan Onimaru di semifinal. Aku terus mereka ulang pertarungan itu di kepalaku, mencoba memikirkan cara terbaik untuk menghadapi orang itu. Onimaru yang bergerak cepat dan aktif melawan Centra yang bertarung pasif. Tanpa kusadari, aku sudah sampai di pintu lorong yang akan membawaku menuju arena. “Terima kasih.”

Orang itu mengangguk. “Semoga beruntung.”

Akupun berjalan di lorong pendek itu. Sesampainya di arena, aku melihat orang yang akan menjadi lawanku sedang berdiri di pintu seberang. Kami berjalan ke tengah dengan perlahan. “Jangan kalah darinya! Kaminari!” Yamada berteriak dari bangku penonton. Ia bersama yang lain sedang menontonku saat ini. Mereka mengharapkanku untuk menang membawa nama Kekaisaran Hizashi di turnamen ini. Kekaisaran Hizashi terkenal dengan para ahli pedang legendaris, aku tidak boleh mempermalukan para pendahulu yang menurunkan dan meneruskan teknik berpedang 4 elemen.

Sorakan penonton terdengar memecahkan suasana. Keramaian ini membuat jantungku semakin berdegup kencang. Aku menahan diriku. Aku meyakinkan diriku. Aku terus menerus mengatakan ‘Ayolah, Kaminari. Satu kemenangan. Itu yang kau butuhkan, tidak kurang tidak lebih.’ dalam hati. Centra boleh jadi memang hebat, tapi bagaimanapun juga, aku akan memenangkan turnamen ini.

Ketika sampai di tengah arena, aku dapat melihat lawanku dengan jelas. Laki-laki itu memiliki tinggi yang sama denganku, mengenakan jubah bertudung yang ia biarkan terikat di lehernya. Ia memiliki mata hijau zamrud yang tegas. Dari tatapannya, aku dapat mengerti bahwa ambisinya untuk memenangkan turnamen ini juga sama besarnya, begitu pula dengan tekanan yang ia rasakan. Kalau begini, pertandingan final tidak akan menjadi sedikitpun lebih mudah. Bisa jadi, pertarungan ini malah akan menjadi lebih sulit dibandingkan dengan yang dialami Onimaru. Jika Onimaru saja kalah, apalagi diriku ini yang hanya bisa menguasai teknik angin. Begitu menyadari pikiran negatif yang mulai bermunculan lagi, aku menggelengkan kepalaku dan menepuk pipiku.

“Baiklah, gunakan ini.” Wasit yang berdiri di samping kami menyerahkan dua buah kalung pada kami. Aku menggunakan kalung tersebut, disusul oleh Centra. “Kalung itu adalah kalung yang sudah diperkuat dengan sihir materi dari keempat elemen. Kalung itu akan melindungi kalian dari segala luka fatal. Baiklah, karena kedua peserta sudah memakai kalung, aku akan menjelaskan beberapa peraturan pokok dari pertandingan ini.”

“Dilarang mendaratkan serangan ke kalung yang berpotensi akan merusak kalung di tengah pertandingan. Secara tidak langsung, berarti kalian tidak boleh menyerang area leher. Kemenangan dapat ditentukan setelah salah satu peserta melepaskan pedang mereka, membuat lawan keluar dari area pertarungan, atau membuat lawan tidak dapat berdiri lagi. Membuat lawan tak sadarkan diri diperbolehkan selama tidak melanggar larangan-larangan yang berlaku. Yang paling penting, jangan ada penggunaan senjata lain selain pedang, tidak diperbolehkan menggunakan sihir dalam bentuk apapun dan elemen apapun, serta tidak boleh ada penggunaan obat-obatan yang membuat salah satu peserta mendapat keunggulan di atas lawannya. Sampai sini, apa kedua peserta sudah mengerti?”

“Siap! Dimengerti!” kataku sambil menarik pedangku keluar. Centra juga mengangguk dan menghunuskan pedangnya. Wasit itu mengangguk dan mundur dari batas area pertarungan. Di pertandingan ini, aku harus mendaratkan serangan yang cepat dan akurat. Membuat Centra melepaskan pedangnya adalah prioritasku yang tertinggi. Wasit mengangkat tangannya. Aku dan Centra saling pandang. Bersiap untuk menyerang saat tangan wasit itu diturunkan. Wasit kemudian menurunkan tangannya, menandakan pertandingan dimulai. “Tunggu sebentar!”

Aku yang melompat menerjang ke arah Centra terhenti karena mendengar suara itu. Centra diam membeku dengan tangan yang masih memegang pedang. Matanya melotot dan tangannya gemetar. Pandangannya tertuju ke arah belakang tubuhku. Suara penonton yang semula ramai juga menjadi hening setelah suara itu terdengar. Aku menoleh ke belakang untuk melihat.

Seseorang dengan jubah dan memakai topeng sedang berdiri di lorong masuk arena Ia belum melakukan apapun, hanya diam di sana. “Centra! Ikutlah denganku dan tidak ada yang perlu terluka!” teriak orang itu sambil menjulurkan tangannya. Wasit kemudian mendekati orang itu. Aku memiliki perasaan yang tidak enak. “Permisi. Saat ini pertandingan–”

“Diamlah! Kau mengganggu!” orang berjubah itu kemudian berpindah dengan cepat dan mengayunkan tangannya ke wasit. Sebuah tombak muncul dari telapak tangannya dan menusuk wasit itu. Ia kemudian mencabut tombak yang tadinya menusuk wasit, kemudian menendang tubuh wasit tersebut sebelum mengayunkan tombak itu sekali lagi ke arahnya. Kepala wasit tersebut terlempar ke tanah tepat setelah tombak tersebut diayunkan. Tubuhnya tergeletak di dekat orang itu. Para penonton mulai riuh karena panik. Ia kemudian berjalan pelan ke arah kami. “Lihatlah, Centra. Ia adalah korban pertama di sini. Jangan membuat darah orang tak bersalah lainnya tercecer sia-sia. Ikutlah denganku dan tidak ada yang akan terluka.”

Para penonton mulai berhamburan keluar arena. Aku melihat Onimaru dan Taka sedang mengawasi kejadian di arena. Untuk Antares dan yang lainnya, sepertinya mereka sedang membantu evakuasi. Sesuatu kemudian melewatiku. Centra sedang menerjang ke arah orang berjubah itu sambil berteriak, “Naz!”

Aku segera menangkap lengan Centra. Ia berusaha melepaskan cengkramanku. “Lepaskan! Ia harus mati!” ia terus menarik lengannya. “Hentikan!” aku terus mencengkram lengannya. Pasukan Spadnum masuk ke dalam arena, mengepung orang berjubah itu. Beberapa mendekatiku dan Centra. “Ikuti kami. Kita akan keluar dari sini.” ia mengulurkan tangannya padaku. Tepat sepersekian detik aku teralihkan, Centra melepaskan lengannya dari cengkramanku. Ia terus berlari menuju orang bertopeng yang ia panggil dengan nama ‘Naz’ itu. Aku berlari menyusulnya dengan diikuti beberapa orang pasukan Spadnum di belakangku.

“Oh? Kau mendekatiku, Centra?” tanya orang tersebut. “Aku tidak akan bisa menghajarmu jika aku tidak mendekat! Kau akan membayarnya, Naz!” teriak Centra sambil terus berlari ke arah 'Naz' sambil menyiapkan pedangnya untuk menyerang. Perasaanku kemudian menjadi tidak enak, ada yang salah dengan ketenangan yang dimiliki oleh orang itu.

Centra berlari menembus formasi pengepungan dari pasukan Spadnum dan bersiap mengayunkan pedangnya. 'Naz' kemudian memunculkan kembali tombaknya dan menyerang Centra dengan tusukan. Tusukan tersebut dapat ditahan oleh Centra dengan pedangnya, membuat Centra terpental cukup jauh sampai ke formasi pengepungan pasukan Spadnum.

“Gungnir!” ia langsung melempar tombaknya ke atas sambil berteriak. Aku mendongak ke atas mengikuti arah tombak yang ia lempar. Tombak itu dengan cepat melesat ke langit dan lenyap dari pandangan. Yang kulihat selanjutnya adalah titik-titik hitam yang semakin mendekat. Aku mempercepat lariku. “Centra! Menjauh!” teriakku. Aku langsung mencengkram kembali lengan Centra. Aku melompat ke belakang, mencoba menariknya menjauh. Aku berhasil menariknya tepat waktu.

Ratusan tombak kemudian menghujani formasi pasukan Spadnum tempat Centra tadinya berada. Mereka yang membentuk formasi pengepungan tidak seberuntug Centra. Tombak-tombak tersebut menembus tubuh mereka, beberapa orang masih selamat tetapi kehilangan beberapa anggota tubuh yang menyebabkan mereka tak dapat menghindari pecahan bebatuan yang jatuh. Pecahan tersebut berasal dari lantai batu arena yang remuk hingga berkeping-keping karena hantaman tombak-tombak tersebut. Beberapa pecahannya yang berukuran besar maupun kecil berterbangan. Tubuh dari para pasukan Spadnum tersebut bergelimpangan di lantai, beberapa dari mereka sudah tidak dalam kondisi utuh. Aku sempat menarik Centra untuk ikut menghindari bebatuan yang berjatuhan. Para penonton yang sedang dievakuasi berlarian menghindari bebatuan yang jatuh. Beberapa dari mereka tetap terkena bebatuan tersebut.

Pasukan Spadnum yang masih selamat langsung membentuk formasi, dengan maksud untuk membantu aku dan Centra mundur. “Centra, aku tidak tahu masalahmu dengannya, tapi ini bukan waktu yang tepat. Kau sudah melihat sekelilingmu. Mundur sekarang sebelum semuanya terlambat.” aku berusaha meyakinkan Centra. Kali ini ia mengangguk. Jelas sudah kalau ia tidak akan bisa melawannya untuk saat ini, apalagi mengalahkannya.

“Revivo.” 'Naz' mengeluarkan api dari tangannya. Api tersebut kemudian menghilang. Tidak, bukan menghilang, api tersebut berubah menjadi benang-benang tipis yang hampir tak terlihat. Benang-benang tersebut memanjang, tetapi tidak dapat kulihat. Aku dapat mengetahuinya karena beberapa kali benang-benang itu saling menimpa sehingga membuatnya lebih terlihat.

Sesaat kemudian, pasukan Spadnum yang sebelumnya telah tewas kini kembali berdiri. Luka-luka mereka masih ada, tetapi mereka yang kehilangan bagian tubuh seketika menumbuhkan kembali anggota tubuh mereka yang hilang. Aku melihat ke arah 'Naz', ia mengangkat kedua tangannya ke depan. Setelah semua mayat hidup itu berdiri, ia mengayunkan tangan kirinya ke arah tribun penonton dan tangan kanannya menghentak ke samping badannya. Sebagian mayat hidup tersebut berlarian dan melompat ke atas tribun penonton yang cukup tinggi, membuat semua yang sedang dievakuasi dan yang membantu evakuasi terkejut.

Tapi itu bukan masalah terbesar yang kuhadapi saat ini. Sisa dari pasukan mayat hidup itu bergerak ke arah kami. Formasi pasukan Spadnum dapat menahan gempuran mayat hidup tersebut, tetapi mereka yang menjadi mayat hidup sepertinya memiliki kekuatan dan kecepatan yang meningkat. Mereka juga dapat menggunakan keahlian yang mereka miliki semasa hidup, seperti menggunakan senjata dan bertarung layaknya saat masih hidup. Aku dan Centra membantu mereka bertahan sambil mundur perlahan. Kami terdesak oleh pasukan mayat hidup tersebut. Keunggulan mereka dalam jumlah dan kekuatan membuat kami semakin dalam posisi yang tidak menguntungkan.

Aku sendiri sudah menerima beberapa luka ringan seperti goresan atau tusukan dangkal. Centra masih bisa bertahan. Setelah melihatnya bertempur di sini, kini aku mengetahui rahasia sebenarnya dari cara Centra mengalahkan Onimaru. Ia memiliki adaptabilitas tinggi yang membuatnya dapat menyesuaikan diri terhadap musuh-musuhnya.

Perlahan tapi pasti, kami semakin mendekat ke lorong yang dapat mengantarkan kami keluar dari arena. Pasukan Spadnum yang kami bantu memiliki beberapa anggota dengan perisai. Jika kami berhasil masuk ke lorong sempit tersebut, mereka bisa menutup pintu lorong dengan perisai sambil menyerang dengan tombak, membuat kami bisa mundur dengan selamat.

Kami akhirnya sampai di pintu lorong. “Masuklah duluan! Aku dan Kaminari akan masuk setelah kalian!” teriak Centra. Aku tersentak dengan rencana mendadak ini, tapi itu tidak masalah bagiku. Aku tersenyum mendengarnya. “Baiklah, Centra. Ayo kita tunjukkan pada mayat-mayat ini!” Centra mengangguk mendengarku. Aku, Centra, bersama beberapa orang yang belum masuk (termasuk para pemegang perisai) bertarung dengan pasukan mayat hidup tersebut.

Lihat selengkapnya