Tidak pernah ada satupun anak yang ingin hidupnya telantar. Bahkan, sebagian dari mereka berambisi untuk menguasai seluruh kasih sayang orangtuanya. Seringkali hal tersebut memicu perseteruan kecil antara kakak dan adik, sulung dan bungsu. Bumbu yang lumrah menghiasi kehidupan keluarga kecil nan bahagia.
Sesuatu yang berhubungan erat dengan kasih sayang orangtua adalah satu-satunya yang didambakan oleh Rio. Tuhan tidak pernah peduli, setidaknya itulah pemikiran bocah sembilan tahun yang semasa bayinya dibuang di depan pintu panti asuhan. Rio menjalani hidupnya dengan penuh tekanan, penderitaan, buruknya lagi kesengsaraan.
Tinggal di salah satu panti asuhan miskin di daerah Kotabaru tiada menyisakan banyak pilihan untuknya. Tiap hari yang disediakan hanyalah sepiring nasi aking dan ikan asin. Kalaupun beruntung, akan ada anak orang kaya yang kebetulan merayakan ulangtahun dan membagi-bagikan makanan enak. Tanpa itu, nasi aking dan ikan asin akan terus menjadi menu santapan.
Kehidupan sosialnya pun tak jauh berbeda, buruk lagi getir. Entah mengapa Rio selalu terlibat masalah dengan beberapa anak bengal, atau lebih tepatnya penghuni lama panti yang tidak terima rumah mereka kedatangan orang baru.
Terkadang ia menjadi bulan-bulanan mereka (dipukuli, didorong ke genangan air, ditelanjangi). Bahkan, suatu hari Rio pernah diikat di tiang kayu, kemudian musuh-musuh sepantinya bergantian melempari anak malang itu dengan batu. Lebam dan beberapa luka, itulah suvenir penyambutan yang mereka berikan.
Mengadu kepada pengurus panti pun serasa percuma. Orang dewasa tidak pernah mengerti, bahkan tidak pernah mau peduli seberat apa masalah yang dialaminya. Di mata mereka, segala yang dilakukan anak-anak selalu tampak seperti bermain-main. Dan yang paling disayangkan, bobroknya taraf finansial menjadikan mereka manusia tanpa perasaan.
Menjalani segala penderitaan dalam setiap aspek hidupnya membuat Rio tumbuh menjadi anak yang penakut dan senantiasa cemas. Ia selalu mewaspadai semua orang, kalau-kalau mereka bermaksud jahat kepadanya.
Penampilan Rio pun barangkali tidaklah menarik. Hanya bocah kurus dengan dengkul yang mencuat keluar. Poni hitam sekeningnya tampak tidak keruan bekas dijambak anak-anak panti. Mengenakan baju bekas dan celana pendek usang tidaklah masalah. Satu-satunya yang patut dibanggakan dari diri Rio adalah ketegaran hatinya—hanya itu.
~~o0o~~
Hari ini tepat jatuh pada perayaan hari jadi panti asuhan. Seperti tahun-tahun kemarin, tempat itu dihiasi seadanya. Semua anak panti juga disodori menu makan yang lebih layak. Sayur asam dengan secubit ikan goreng. Seharusnya ini perubahan besar yang patut disyukuri. Namun, ada segelintir orang yang hatinya dipenuhi ketamakan.
“Lepaskan aku, Don!” Rio meronta begitu tiga orang remaja memegangi tubuh kerontangnya.
Doni, pemimpin grup berandalan itu tampak girang saat mereka berhasil memasukkan Rio ke rumah tua di belakang panti. Tampang kusam berjerawatnya menyeringai lebar. Pemuda berbadan gempal itu terus saja mendorong Rio yang bersikeras keluar. Tak terkecuali tangannya itu, yang memukul perut Rio hingga terpaksa menyerah.
“Diam di sana, Bocah cengeng!” ujarnya seraya menyodorkan senyum menyebalkan. “Kalau lapar, makan saja debu dan rayap!”
Pintunya langsung ditutup, lalu diganjal dari luar. Sesudah melakukan tindak nista tersebut, ketiga orang itu saling berlomba masuk ke panti asuhan. Tentu karena makanan istimewa akan dibagikan beberapa menit lagi. Porsi yang dibuat sekecil mungkin menyulitkan bagi siapapun untuk berbuat curang. Tiada cara yang paling cerdik, selain menggugurkan para pesaing, salah satunya Rio.
Terkurung seorang diri di dalam rumah angker bukanlah masalah berat baginya. Rio bukan anak yang ciut terhadap hal-hal mistis. Alasannya sederhana, tidak pernah ada kuntilanak yang menampar wajahnya, atau genderuwo yang mendorongnya ke air comberan. Tidak ada, kecuali sekumpulan manusia bajingan yang tak pernah puas menindasnya.
Rio hanya diam seraya bertumpu pada sikunya di ambang jendela. Iris hitam anak itu memerhatikan betapa meriahnya panti asuhan dengan segala perayaan yang ada. Air liur Rio menetes ketika membayangkan kenikmatan ikan goreng dan segarnya sayur asam. Akan tetapi, beginilah keadaannya, selalu saja. Doni dan grup terkutuknya kerap kali memenjarakan Rio di rumah ini.
Entah apa alasan yang mereka berikan ketika para pengurus panti menanyakan keabsenan Rio. Seandainya kabur lewat jendelapun hasilnya tak jauh beda. Lagi pula, kusen jendelanya sudah lapuk. Mata berbinar bocah itu mendelik ketika sesosok burung nuri bertengger di ambang jendela, memamerkan kicauan merdunya beserta warna bulu yang indah.
“Datang lagi dan lagi,” gumam Rio diiringi senyum tipis. “Andai kau mengerti bahasaku, sudah pasti akan kuceritakan betapa kejamnya para manusia memperlakukanku.”
Harapannya tentu tidak terkabul. Burung nuri tetaplah burung nuri. Tidak berbicara, melainkan berkicau tanpa tahu apa tafsirnya. Namun, mendengar kicauannya saja sudah menyenangkan bagi Rio.
Sebenarnya, burung itu cukup unik. Ia punya tanda hitam kecil berbentuk permata di kepalanya. Setiap kali Rio terkurung di rumah angker, nuri tersebut selalu datang dan menyajikan suara merdunya. Dulu, saat pertama kali Rio dikurung di tempat ini, burung itu tiba-tiba saja bertengger di dekat jendela sambil melompat-lompat kecil. Bulu hijaunya tampak cemerlang diterpa sinar pagi, begitu pun kebahagiaan yang dibawanya.
Semenjak saat itu, Rio tak pernah kesepian di rumah angker. Nuri yang istimewa senantiasa menemani di saat orang lain berusaha membinasakannya.
“Kapankah pertolongan Tuhan akan datang? Aku selalu menunggunya,” ucap Rio mengiringi setetes air yang merembes dari kelopak matanya. Ia tersedu, tak sanggup menahan beban lebih berat lagi. “Seandainya hidupku bisa diulang. Seandainya orang tuaku masih ada. Seandainya aku tidak dilahirkan. Hah, tidak mungkin, bukan? Tuhan tidak pernah setuju.”
Burung nuri yang asyik berkicau, kini mendekati wajahnya yang murung. Unggas itu awalnya tampak tidak peduli, tetapi di saat berikutnya ia justru mengelus pipi Rio yang basah dengan kepala berbulu merahnya. Rio sontak kaget. Anak itu memutuskan tetap diam, kendati hatinya merasa aneh. Setidaknya, masih ada yang berduka atas kesedihannya.