Terlalu asyik memikirkan terawangan hidupnya ke depan, menjadikan waktu terlalu cepat untuk diawasi. Barusan pukul delapan, dan kini jarum pendeknya menunjuk ke angka sepuluh. Rio mengintip, menjulurkan kepalanya ke atas untuk memastikan keadaan Zaky. Lelaki itu rupanya sudah terpejam nikmat.
Rio berpikir untuk memulai rencana nekatnya. Bersama tengah hiruk-pikuk terompet, pemuda itu berjingkat meninggalkan kamar. Sesaat pintu kayunya berderit karena dibuka, di luar tampak remang-remang dan sunyi. Sepuluh pintu kamar tertutup, kecuali kamar Rio yang bercat jingga.
Ia melangkah pelan menyusuri koridor sempit yang berakhir pada ruang tamu. Satu set sofa merah tua teronggok di sana bersama dua orang pengurus panti yang berjaga. Mereka asyik berbincang sambil mengisap rokok yang tinggal setengah.
Rio tahu keduanya terlalu sibuk untuk memerhatikan ke belakang, sementara pintu keluar sudah menganga lebar. Ketika dua orang itu menghadap ke jendela samping, secepat kilat kakinya berlari menyeberangi ruang tamu. Dia berhasil!
Udara dingin menyapa kulit sawo matangnya. Tak pernah terbayangkan suatu saat nanti anak yang penakut dan patuh seperti Rio berani melawan kebijakan Nyonya Dahlia. Akan tetapi, hasratnya telah membludak melebihi logika.
Ia berjingkat meninggalkan halaman sembari berharap lantai berderitnya tidak menimbulkan kecurigaan. Setelah menginjak tanah berumput, Rio pun menerawang ke depan, tepatnya ke arah pohon besar di seberang jalan. Doni bilang dia akan menunggu di sana.
Derum kendaraan terdengar menambah hiruk-pikuk Kotabaru malam itu. Terlebih lagi, langit gelapnya tampak kemilau akibat ledakan kembang api. Siapapun pasti takkan rela melewatkan perayaan paling heboh setahun sekali ini.
“Lebih menarik dari hanya mendengkur di kasur,” gumam Rio.
Matanya melirik ke kanan dan kiri sebelum akhirnya menyeberangi jalan raya. Rio sempat terpukau menyaksikan kembang api yang pecah membentuk bintang-bintang kecil di angkasa. Sesampainya di pohon besar, ternyata Doni tak ada di sana, melainkan kegelapan serta hawa dingin. Seharusnya Rio tidak pernah menyanggupi ucapan lelaki brengsek itu. Pikirannya pasti tidak waras karena terlalu lama menetap di panti, atau mungkin karena terlalu lama menyantap ikan asin.
Kini Rio telanjur melanggar aturan. Bisa jadi Doni sengaja memancingnya ke luar agar mendapat perhatian dari Nyonya Dahlia. Dia pastinya akan dibiarkan tinggal selama mungkin setelah melaporkan kesalahan Rio.
Kehabisan upaya, Rio duduk di salah satu sisi pohon seraya memandangi kumpulan orang yang lewat. Mengapa tak terpikir olehnya untuk menanyakan pukul berapa mereka akan bertemu?
Malam yang kelam, kota yang meriah dan sebatang pohon tua, itulah yang sedang ditempati Rio. Dan pohon itu, kayunya agak lapuk dengan akar-akar besar yang menusuk ke dalam tanah. Helai demi helai daun kuning mengguguri kepala Rio. Daun muda yang menggelantung di atas pun tak jauh berbeda dengan puluhan akar serabut yang menjuntai ke bawah. Agak seram memang, tetapi cukup rindang.
Bermenit-menit terjerat dalam kegalauan, Rio akhirnya berniat kembali. Namun, sebelum langkahnya menggenap, ia lebih dulu kedatangan tamu. Burung nuri yang delapan tahun silam dinamainya Revan terbang menghampiri. Dia berkicau nyaring seraya menyambar lengan baju Rio.
“Berhentilah, Revan!” Rio mendesis.
Burung itu tak mengacuhkannya. Ia terus menyambar sahabatnya, hingga kemudian terbang ke salah satu dahan pohon sesaat keributan terdengar dari seberang. Mata berbinar Rio terbelalak menyaksikan Nyonya Dahlia mengomel bersama Doni yang tersenyum puas di sampingnya. Sudah jelas Rio telah dijebak. Doni memang berniat menghancurkan reputasinya.
Tanpa menimbulkan keributan, Rio segera merayap ke belakang pohon tua, memastikan dirinya tertutup kegelapan. Jantungnya jumpalitan menunggu detik-detik paling berbahaya. Nyonya Dahlia tahu ada seseorang yang bersembunyi di belakang pohon—terlalu takut untuk menampakkan diri.
“Tolong aku, Tuhan. Tolong aku, Tuhan.” Bibir pucat Rio tak henti-hentinya memohon. “Kalau tidak, aku takkan pernah berharap lagi,” ancamnya di akhir.
Langkah cepat Nyonya Dahlia semakin mendekat, begitu pun gerutu paraunya yang menusuk telinga. Hukuman apa yang pantas diterima Rio? Membersihkan halaman selama sebulan, makan hanya sekali sehari, atau yang paling buruk; diusir dari panti asuhan selamanya. Ke mana ia akan singgah? Bagaimana caranya bertahan hidup? Ini semua karena Doni si brengsek.
Sejurus pekikkan melengking dari Revan, tiba-tiba saja batang pohon yang disandari Rio melunak—selunak genangan lumpur di musim hujan. Ia yang tak sempat berpegangan sontak terjengkang masuk ke dalamnya. Rio meluncur turun, melewati lorong vertikal yang dijalari akar-akar besar dan seekor serangga raksasa bermata seratus terlihat berderik kejam. Teriakannya menggema di sepanjang lorong bersama rambut hitamnya yang berkibar termakan angin.
Tubuh Rio menghantam tanah, menghasilkan bunyi gedebuk yang cukup keras. Dia berada di ruangan bundar beralaskan akar yang saling membelit, gelap serta dingin menusuk. Dengan rasa bingung yang melanda hatinya, Rio mulai memeriksa dinding ruangan kayu. Sungguh aneh, tiap kali telunjuk panjangnya menyentuh permukaan dinding, maka kilat kuning menyeruak menerangi ruangan selama beberapa detik.
Rio tidak kunjung melepaskan jarinya, sehingga kilat-kilat gemerlap itu saling membalas. Kalau begini, kesan seram dan gelapnya lenyap seketika. Lima kali, tujuh kali dan sentuhan kesepuluh menjadi kunci yang membuka pintu rahasia.
Sepasang pintu berkilau keemasan terbuka di salah satu dinding. Kegelapan ruangan tergerus oleh kemilau cahayanya. Rio memerhatikan keadaan di luar sana. Mata besarnya benar-benar mengawasi. Sesaat ia pikir itu aman, kakinya bergegas melewati pintu besar, dan kini didapatinya padang belukar lengkap dengan pepohonan tinggi besar.
Langitnya biru cerah sama seperti di bumi. Tanahnya cokelat gelap sama seperti di bumi. Warna dedaunan pun hijau tua, sama persis dengan tempatnya berasal. Lalu, di manakah Rio berada? Deretan pohon cemara di depannya mungkin menyimpan jawaban.
Rasa cemas selalu menghambatnya. Rio terlalu enggan bergerak dari posisinya, bahkan hanya untuk satu langkah. Ia diam mematung, terkecuali irisnya yang menelusuri keadaan sekitar.
Rio tersentak sejurus dengan datangnya Revan. Burung itu melompat dari dahan tinggi dan mendarat tepat di hadapannya. Kicauan merdu mengisi kesunyian hutan. Untuk sesaat Rio merasa tenang karena sahabatnya berada di sini.
Pemuda itu lebih tersentak lagi ketika Revan tiba-tiba saja membesar. Kedua sayapnya memanjang—menjelma menjadi sepasang lengan manusia. Paruhnya memendek hingga menjadi mulut berbibir merah muda, disusul tubuh yang menegak layaknya lelaki perkasa.
Kini tampaklah di depannya seorang pria berkumis belah. Kulitnya putih kemerahan berbalut setelan jas hijau muda dengan dasi kupu-kupu merah. Rambut hitamnya tersisir rapi (klimis sempurna), sehingga ketika ia tersenyum, aura kebahagiaan merekah indah.
“Selamat datang, Tuanku.” Si pria membungkuk hormat. “Maaf jika terlalu mendadak.”
Rio yang sedari tadi terenyak, sekarang gemetaran. Kaki-kaki kurusnya berguncang hebat seakan ingin ambruk. Ia tidak pernah menyangka Revan bisa berubah menjadi seorang pria berwibawa. Wajahnya memucat diiringi keringat dingin yang menggenangi pelipis. Tiada ada jawaban dari Rio, tetapi Revan tahu arti dari sikap tersebut.
“Ah, benar! Kau pasti belum tahu ada di mana. Tempat ini namanya negeri Neferty, dunianya kaum penyihir dan beraneka makhluk.” Pipi Revan berseri. “Kau berada di sini karena negeri ini butuh pemimpin. Raja kami kalah di medan perang dan memutuskan untuk memulai ritual kunonya. Prosesi pengiriman jiwa seseorang ke tubuh orang lain yang akan lahir sekian tahun kemudian telah dilakukan. Itu adalah kau.”
Bertambah goyahlah tubuh Rio. Ia terhuyung tidak percaya. Selama ini dirinya tidak lebih dari anak yatim yang tak kunjung diadopsi. Namun, kini ada seekor burung jadi-jadian yang bilang dia adalah penerus raja. Sulit dipercaya.