Karena tidur terlalu dini, Rio jadi terjaga di malam harinya. Ia keluar kamar, menemui Revan dan Kron yang tampak kekenyangan. Donald dan Bean juga terkulai lemas akibat terlalu banyak makan. Namun, ketika mengetahui sang Raja menilik dari kamarnya, keempat lelaki itu bergegas bangkit, berbaris rapi sebelum mempersembahkan senyum terhangat.
“Turunlah,” ujar Revan berseri-seri.
Daging kalkun panggang segera disajikan hanya untuk Rio seorang. Kulit panasnya yang kecokelatan, bau sedapnya yang menggugah selera, dan asap itu! Asap putih yang mengawang seiring jatuhnya air liur Rio akibat menahan lapar.
Sesaat ingin mencopot paha besar sang kalkun, Rio langsung menangis tersedu-sedu. Keempat temannya sontak panik dan berlomba mengelusi punggung Rio supaya tangisnya reda. Dia bilang seumur hidupnya nyaris tak pernah mendapat makanan seenak ini. Aromanya saja begitu nikmat, menangkal habis kenangan buruk soal nasi aking bercampur ikan asin yang masih terngiang-ngiang di kepala Rio. Perlakuan semulia ini membuatnya terharu.
“Terima kasih. Terima kasih. Te—”
“Hentikan, Wahai Rajaku yang terpuji. Kau pantas menerima semua kemuliaan di sini. Seharusnya kamilah yang meminta maaf, sebab belum sanggup mempersembahkan singgasana mewah sebagai simbol keagunganmu. Maafkan aku, Kron, Bean, Donald, dan yang lain.” Revan mewakili rekan-rekannya.
“Aku takkan pernah melupakan kebaikan kalian. Aku janji!” Rio meringis, tetapi mulutnya sibuk mengunyah daging empuk.
Sesudah menyambar habis daging kalkun, Rio diajak bergembira sepanjang malam demi menghapus lara. Mereka menyanyikan deretan lagu bahagia bersama-sama diiringi suara cempreng Donald yang dikiranya suara paling bagus seantero negeri Neferty. Lalu mereka juga menari, melenggokkan tubuh sepuasnya. Si tua Bean bahkan terlalu asyik berjoget sampai-sampai encoknya kambuh. Sungguh malam yang amat menyenangkan. Baru sekali ini Rio diizinkan begadang sampai subuh, dan tentu saja saat matahari bersinar terang mereka jadi sangat mengantuk.
“Hoahem … kita terlalu bergembira tadi malam,” ujar Kron lesu. Kantung mata besarnya tersembunyi di balik poni panjang.
“Tidur. Aku mau melanjutkan tidurku.” Rio membungkuk seraya berjalan ke kamarnya.
“Tunggu dulu!” pekik Revan kurang setuju. “Bagaimana dengan rencana kita? Hari ini adalah keberhasilan. Kita sudah dapatkan Raja, peta besar dan kedelapan whisper-nya. Lalu apa lagi yang perlu ditunggu?” Dia memandangi Kron dan Rio. Bean serta Donald sudah terlelap duluan di lantai.
“Berikan kami lima menit saja. Lagi pula waktu kita masih banyak—”
“Dan akan terus berkurang! Waktu tidak pernah menunggu, Kron putra Vron!" potong Revan. “Sekian tahun bersabar atas segala cobaan ini, apa kau masih sanggup berdiam diri di saat semuanya telah lengkap? Aku justru cemas memikirkan seberapa jauh perkembangan Tarnath bersama pasukannya, sementara kita terus bernyanyi dan menari tak keruan!”
Kron mendengus pasrah, diikuti Rio yang perlahan menegakkan tubuh, menghasilkan bunyi gemertak dari tulang belakangnya. Dia tahu seorang raja harusnya tidak bersikap ceroboh dengan menyampingkan urusan negara di bawah kesenangan pribadi. Memangnya apa tujuannya dibawa ke sini? Sudah tentu untuk merebut takhtanya, bukan untuk kontes bernyanyi ataupun menari. Revan sungguh kecewa, dan Rio menyesal telah menjadi penyebab atas kekecewaan itu.
“Kau benar. Kita sudah meremehkan masalah ini.” Wajah Kron muram, kecewa pada sikapnya sendiri. “Para goblin tidak suka jika tamu mereka berkunjung terlalu siang. Ayo berangkat!” Semangatnya menyusul.
"Bagus. Itulah yang ingin kudengar."
Perjalanan telah ditetapkan. Sesudah kesepakatan membulat, Revan segera membangunkan Donald dan Bean. Bukan mengajak, melainkan hanya untuk memberitahu bahwa mereka akan meninggalkan markas hari ini. Donald yang masih dikuasai kantuk cuma mengangguk dengan mata sipit, sementara si tua Bean sama sekali tidak mendengarkan. Ia mendengkur keras sebagai jawaban. Di sisi lain, Kron sibuk menghitung jumlah kantung di balik jaket beruangnya. Total, ada delapan kantung yang berisi penuh barang-barangnya.
“Sebotol air liur rusa natal, dendeng kelinci padang pasir, sapu tangan anti-basah, mantel tikus mondok, sebotol darah ular derik. Sempurna, semuanya lengkap!” Kron menyentak jaketnya sehingga kumpulan kutu putih berguguran ke tanah.
“Untuk apa kau bawa benda-benda aneh itu?” tanya Rio.
“Hanya koleksi pribadiku. Kita tidak tahu pasti apa yang akan terjadi selama di perjalanan.” Kron menerangkan. “Lagi pula ini bukan perjalanan sehari, ya, ‘kan?” ucapnya disusul kekeh ringan.
“Mereka benar-benar menyebalkan. Tidak ada satu pun yang mendengarkan kita, padahal ini semua untuk negeri Neferty dan Nepheel. Mantan prajurit seharusnya tidak seperti itu,” omel Revan seraya menutup pintu markas.
“Tenanglah, Kawanku. Sifat pejuang kita hanya kurang diasah,” sahut Kron. “Lagi pula, kita sudah sepakat untuk tidak berangkat bersama. Itu akan mencurigakan, bukan? Hanya boleh ada dua pengawal dan satu raja.”
“Ya, begitulah. Tetapi sebagai ajudan kerajaan, sifat malas itu harus dibuang jauh-jauh. Aku memaklumi Bean karena ia tua, tetapi Donald, Finstern dan Rosa? Mereka sungguh mengecewakan.”
“Ya, aku juga mengecewakan. Akan tetapi, perjalanannya masih menunggu untuk diselesaikan. Tinggalkan saja mereka dan biarkan kita yang beraksi,” komentar Kron. “Summon: Bagal Pulau Brie.”
Cahaya biru yang menyeruak di tanah menyisakan dua ekor bagal untuk perjalanan. Kulitnya hitam keabu-abuan dengan telinga panjang seperti keledai dan kaki-kaki kekar sebagaimana kuda. Keduanya meringkik menampilkan geligi besar di balik moncong tumpul mereka.
“Kau beri kami bagal untuk perjalanan? Perhatian sekali,” kata Revan mendelik jengkel.
“Bukan bagal biasa, Tukang marah-marah. Mereka dari pulau di penjuru utara, Brie. Peranakan keledai betina terkuat dan kuda jantan tercepat. Kau pasti takjub.” Kron meninggikan suaranya, berusaha membela diri. “Dan ini spesial untukmu, Rio. Summon: Griffin Musim Dingin!” Dia lagi-lagi merapal mantra pemanggil.
Di samping para bagal, cahaya kebiruan mekar lagi, meninggalkan seekor makhluk yang menakjubkan. Kron bilang namanya Frig. Makhluk seukuran singa itu punya sayap putih besar yang mengeluarkan semerbak lavender. Bagian tubuh belakangnya menyerupai macan tutul salju dengan cakar-cakar tajam dan ekor berbulu lebat. Sedangkan tubuh bagian depannya mirip burung elang berbulu putih kebiruan. Selain paruhnya yang bengkok, ia juga punya sepasang telinga runcing yang mencuat ke atas.
“Aku mendapatkannya di daratan bersalju Chion dalam keadaan terluka. Waktu itu dia masih bayi, sih. Setelah kubawa pulang dan diobati, Frig tumbuh menjadi Griffin yang periang. Ia bahkan bersedia tinggal di penangkaran imajinerku,” beritahu Kron.