Jaring besar muncul dari dalam tumpukan daun kering, menelan Kron dan Revan bersama bagal-bagal mereka. Untungnya Frig dengan sigap terbang ke belakang, sehingga Rio terselamatkan. Sontak saja suara gemeresik semak-semak mengisi kesunyian hutan. Rio dapat mendengar gumam orang-orang. Mereka agaknya tengah membicarakan sesuatu dengan berisik.
Frig berencana kabur, tetapi sebelum ia sempat, tali dari sulur tanaman lebih dulu menjerat kaki belakangnya. Sialnya lagi, ujung tali itu diikatkan dengan batu besar sehingga tak mungkin lagi berkutik baginya.
Rio yang jatuh dari atas menghasilkan bunyi gedebuk keras saat menghantam tanah, terkapar tak berdaya. Setelah itu, kumpulan makhluk kerdil mulai menyerbu mereka dengan tombak-tombak tajam. Makhluk-makhluk itu hanya setinggi tujuh puluh senti dengan kulit hijau berbintil kuning. Namun, alasan Rio menjerit ketakutan adalah hidung mereka yang sangat panjang dan besar, juga deretan gigi runcing setajam silet.
“Bawa mereka!” seru salah seekor dari mereka, yang bermata sebesar kelereng, hitam pekat.
Revan dan Kron dijatuhkan dari jala lalu diseret paksa, sedangkan Rio digotong menggunakan dua balok kayu panjang, disusul Frig yang dijerat kakinya. Sepanjang jalan makhluk-makhluk seram itu bergumam, saling berbicara satu sama lain. Badan mereka terlalu kurus sampai-sampai tulang rusuknya menyembul ke luar. Sudah begitu, tiada satupun dari makhluk tersebut yang memakai baju. Mereka cuma mengenakan rok pendek dari kulit pohon.
“Kita terkena jebakan goblin” bisik Revan cemas.
“Awal yang buruk.” Kron menimpali sama pelannya.
Menembus lebatnya pepohonan berlumut, menyeberangi sungai dangkal. Ketika itu Revan dan Kron benar-benar kuyup. Bahkan, jaket beruang Kron mulai mengeluarkan bau apak. Belum lagi jalan berlumpur yang mengotori tubuh mereka berdua. Untungnya, bagal-bagal Kron sudah dikembalikannya ke penangkaran imajiner dengan menyebut mantra rahasia. Sungguh perjalanan yang memuakkan.
Dari kejauhan Revan bisa melihat atap-atap pondok dari rumbia. Pasti sudah dekat, pikirnya. Seekor goblin berlari mendahului yang lain, bermaksud menertibkan balai kampung agar tawanan mereka dapat disaksikan seluruh penduduk.
“Menjauhlah! Menjauhlah!” Ia berteriak seraya merapatkan kedua tangannya ke mulut, dan lubang hidung sebesar buah cerinya kembang-kempis.
Pertama-tama, Revan dan Kron dilempar ke tengah kampung. Selanjutnya, giliran Rio yang diletakkan tak jauh dari kedua temannya, disusul Frig yang meronta-ronta ingin dilepas. Penduduk kampung goblin mendekat hati-hati. Rio jadi kelewat ketakutan. Tangan-kakinya bergetar hebat, jantungnya pun terasa jumpalitan.
Kron tidak suka dirinya diperhatikan banyak orang, apalagi dengan tatapan aneh. Ia mengerang kesal, sehingga kumpulan goblin itu berhamburan. Mulut Kron akhirnya bisa mendesah lega. Namun, sedetik kemudian jantungnya kembali berdegup kencang, tepatnya ketika sang alpha, Bayrak datang bersama para goblin yang meringkus mereka.
Sebagai alpha, Bayrak punya badan yang lebih besar dan kekar. Kulitnya hijau tua, berhidung panjang yang ujungnya bengkok ke bawah. Kemudian, telinganya lancip seperti kelelawar. Dada bidang Bayrak yang dibiarkan tak berbelit kain agar menampakkan guratan-guratan luka yang didapatnya selama menjadi pemimpin kawanan.
“Dasar manusia tak tahu untung!” gelegarnya murka. Mata sebesar buah anggur hitam itu mendelik ke arah Revan, Kron dan Rio. “Sekarang aku harus putuskan hukuman apa yang pantas ditanggung oleh para pelanggar batas.” Ia meninggikan kepala sombong.
“Tunggu dulu, Wahai Alpha!” sergah Revan. “Kami datang dengan tujuan baik.” Ia menggeliat mendekati Bayrak.
“Tujuan baik apanya?!”
“Tarnath. Kami ingin menggugurkan kekuasaan Tarnath. Kau bisa bergabung jika mau,” jawab Revan.
“Manusia pembohong!” bentaknya lagi. “Aku tidak mudah percaya semenjak orc-orc dari Nepheel berulang kali menyerbu dusun kami.” Bayrak mengentak kakinya penuh emosi.
“Tolonglah, Wahai Alpha! Tanpa bantuanmu kami akan gagal. Aku berani bersumpah.” Revan merayu sebisa mungkin.
“Buktikan kepadaku!” Ia menggeram, memamerkan deret geriginya yang menyerupai kail.
“Lepaskan kami dulu,” celetuk Kron yang sedari tadi kesempitan di dalam jala.
“Lancang juga kau, Raksasa cebol!”
“Apa kau bilang!?” Kron sewot.
“Kumohon!” potong Revan, setengah mati memperingati Kron agar tidak berontak. “Kumohon, lepaskan kami dulu sebelum membuktikan sesuatu padamu. Aku bersumpah atas nama negeri Neferty yang agung, kami takkan bergerak satu langkah pun kecuali dengan izinmu.”
Bayrak mengacungkan lengan berototnya. Prajurit goblin spontan menodongkan tombak-tombak kayu mereka ke arah ketiga penyusup yang kedapatan hari ini. Kesannya seolah ingin menusuk, hingga membuat Revan dan Kron menyesal telah bernegosiasi. Sedetik kemudian, seekor goblin tiba-tiba membungkuk untuk memotong jala dengan tombaknya. Revan dan Kron pun terbebas, meski puluhan mata tombak masih mengarah kepada mereka.
“Apa yang ingin kalian buktikan?” ujar Bayrak.
“Kami ... kami punya ini!” Revan menyodorkan peta besar selepas merogoh ransel bututnya.
Semua goblin sontak terkejut, tak terkecuali Bayrak yang melongo, kehabisan kata. Mereka tidak pernah tahu peta legendaris itu masih ada. Nahas, di detik berikutnya mata pemimpin goblin itu berkilat-kilat murka.
“Kalian tak pantas memilikinya!” Bayrak menyambar peta tersebut dari tangan Revan.
Kron langsung berdiri, berusaha melawan, tetapi tombak-tombak tajam lebih dulu maju mencegat. Terpaksa kakinya mundur perlahan. Para goblin masih menatap tajam, dengan mata hitam mengilap.