Nefertyland: Para Pemburu Zirah

Andrean_Lazuardi
Chapter #5

Lembar 5 : Di balik Keberuntung, Ada Kesialan

Matahari sudah merajai pucuk langit tatkala Rio berhasil menemukan sebuah pondok besar yang terbuat dari kayu mahoni. Tempat itu lebih tinggi dari pondok lain, ditopang oleh tiang-tiang kuat dari batang pohon hutan. Merasa waktu kian menipis, Rio segera menaiki undakan panjangnya dan berhenti tepat di balik ambang pintu. Bukan karena enggan masuk, melainkan samar-samar ia mendengar Bayrak tengah berunding dengan salah satu goblin.

“Jika terus dibiarkan, Erevna tidak mungkin dilaksanakan lagi. Paling tidak sampai sepuluh tahun ke depan.”

“Mustahil! Sudah kuperintahkan tangkap seekor vrave dewasa untuk acara berikutnya. Jika tidak, bangsa goblin akan punah. Takkan ada alpha. Tidak ada pula pelindung kita dari si Raja keparat itu!” kata Bayrak bersungut-sungut. Ia bahkan mengentak kakinya sampai lantai pondok bergetar.

“A-akan saya usahakan.”

“Aku tidak ingin usaha! Aku ingin kepastian.” Lagi-lagi kaki Bayrak mengentak. “Sampai hari ini aku masih heran mengapa binatang itu datang ke hutan kita. Dia menimbulkan banyak malapetaka. Meranggas pepohonan, mencemari sungai, memangsa vrave! Aku sudah tidak tahan.”

“K-kami bisa membantu jika diizinkan,” celetuk Rio, memberanikan diri menghadap Bayrak yang dilanda murka.

“Kau takkan pernah dapat izin! Merepotkan saja!” Mata Bayrak menengok tajam.

“Kudengar kalian kesulitan menghadapi seekor binatang. Siapa tahu kami akan berguna. Dua temanku, mereka punya sihir yang hebat.”

Untuk sesaat Bayrak mendengus pelan. Tatapannya menusuk ke bawah, memikirkan penawaran Rio yang terdengar menarik sekaligus meragukan. Dirinya tahu kalau manusia punya sihir beraneka ragam. Selain itu, Bayrak yakin sihir pengecil Kron dapat berguna, juga sihir transfigurasi Revan. Akan tetapi, manusia selalu punya hasrat yang melebihi batas logika mereka. Layaknya Tarnath, bisa saja ketika berhasil mengalahkan pemangsa vrave, mereka sepakat berkhianat untuk menyerang bangsa goblin.

“Bawa dua temanmu ke sini!” tuntutnya mendengus pasrah.

“Si-siap!” Rio langsung tancap gas.

Berselang sepuluh menit, Kron dan Revan bertamu ke pondok tinggi, tepat di saat Bayrak duduk santai di kursi berbungkus kulit babi hutan.

“Kau ingin apa, Rio?” tanya Revan sebelum menginjak ambang pintu.

“Kau tanyakan saja padanya. Aku tidak terlalu mengerti,” desis Rio, melirik sang Alpha.

Mereka berdiri berdampingan, sementara Bayrak beranjak dari kursinya, berjalan pelan menghampiri. Kron tidak begitu peduli. Ia sibuk mengelap ingus hijaunya yang terus-terusan menetes dengan sapu tangan anti-basah. Hidungnya benar-benar ungu seperti bawang.

“Teman kecilmu menawarkanku sebuah bantuan yang besar, sampai-sampai aku ragu untuk mempercayainya.” Bayrak mendelik pada Revan. “Dia ingin membantu kami membantai Fenrir!”

Revan terenyak hingga kepalanya terantuk tiang penyangga. Siapa yang mau berurusan dengan Fenrir? Makhluk buas itu terlalu sulit untuk dibantai.

“Apa maksudmu, Rio?!” desis Revan kurang setuju.

“K-kupikir inilah jalan satu-satunya untuk mendapatkan Kholoros.”

“Kholoros?!” gelegar Bayrak. “Sungguh biadab! Pantas saja kalian membawa peta legendaris ke mana-mana. Sudah jelas untuk menguasai Neferty menggunakan Yang Delapan,” hujatnya tak tahan.

“Tidak, tidak! Kami berusaha menggugurkan takhta Tarnath. Bukankah sudah kubilang?” Revan coba membela diri.

“Omong kosong! Mengapa manusia mau mengalahkan manusia yang lain? Kalian bisa saja bekerja sama untuk melenyapkan kekuasaan kami.” Bayrak bersikeras bahwa dirinya paling benar.

“Kau salah, Bayrak! Tidak semua manusia bengis. Kami adalah manusia baik-baik, dan kau tahu …,” ucap Revan seraya menggandeng Rio. “Dia sang Raja. Reinkarnasi dari Lord Aaron.”

Mendengarnya, Bayrak seketika tercekat. Sepasang mata hitamnya terbeliak menyaksikan sang Raja yang dipuja-puja tengah berdiri di pondok sederhananya. Walau cuma ucapan Revan—yang belum pasti benar atau tidaknya—tetapi hatinya sedikit tak enak karena sudah berteriak-teriak marah.

Lihat selengkapnya