Nefertyland: Para Pemburu Zirah

Andrean_Lazuardi
Chapter #6

Lembar 6 : Kebohongan Revan

Keadaan hening sejenak, sebelum Bayrak menyambar gelas besar di meja lalu menyeruput minumannya. Goblin perkasa itu, di sela-sela minumnya masih melirik tajam pada Revan. Baginya ini cukup buruk, tetapi masih bisa ditolerir. Begitu gelasnya ditaruh kembali, ia pun mulai berbicara.

“Intinya, Rio adalah sang Raja … sekaligus bukan sang Raja.” Kalimatnya terdengar ambigu, membuat Kron menggeram tak puas. “Aku pernah baca kitab kuno, itu sudah lama sekali. Kitabnya bilang, ketika sang Raja menyentuh zirah suci, maka sinar terang akan muncul. Sinar itu berguna untuk meleburkan kedelapan zirah menjadi satu. Di sinilah masalahnya. Sentuhan Rio hanya mampu membuat zirahnya benderang selama beberapa detik. Sementara dengan sentuhan raja, paling tidak sinarnya bertahan sampai tiga menit. Sudah mengerti, bukan?”

“Maksudmu Rio ada di antara posisi raja sesungguhnya dan raja palsu?” Revan coba memastikan.

“Benar. Namun, aku tidak mengerti mengapa itu bisa terjadi,” katanya seraya memilin telinga kelelawarnya. “Dengarkan aku! Perjuangan kalian tidak sia-sia, aku serius. Sentuhanmu itu, Rio, walaupun tidak sempurna, tetapi masih berguna untuk mempersatukan semua zirah. Lanjutkanlah perjalanannya meski tanpa raja.”

Kali ini Kron tak sanggup menahan emosi. Ia yang sudah berdiri langsung meremas senderan kursinya amat kuat—sampai menghasilkan bunyi “kretak!” yang cukup keras. Wajah raksasa itu sangat merah dan napas hangat mengawang dari lubang hidungnya. Sesaat kemudian ia berucap murka. “Tanpa raja, katamu?! Tanpa raja! Aku tidak setuju! Lalu apa bedanya anak ini dengan Tarnath? Mereka sama-sama tidak memiliki darah raja, tidak pantas menduduki singgasana. Ini—”

“Apa maumu sebenarnya, Kron?!” gelegar Revan ikut-ikutan berdiri. “Setidaknya sifat Rio berbeda dengan Tarnath. Dia tegar, jujur, tulus. Itu semua sifat Lord Aaron, sekaligus alasan mengapa kubilang Rio punya hati sang Raja.”

Lagi-lagi situasi senyap. Kali ini lebih lama, sampai-sampai Leander menilik dari sekat ruangan, memeriksa mengapa suara ribut-ribut yang sedari tadi didengarnya berhenti. Kron masih berkutat dengan rasa geramnya, sedangkan Revan beserta Bayrak tampak menunduk dengan wajah muram. Dan Rio, matanya berkaca-kaca menahan tangis.

“Beritahu aku, Julius,” kata Kron pelan, juga tersengal-sengal. “Dari sekian banyak manusia di dunia non-sihir, bagaimana bisa kau memilihnya untuk datang ke sini?”

“Aku tidak tahu pasti. Yang jelas, ketika menggunakan mantra teleportasi melalui pohon Snowflake, aku langsung tiba di seberang panti asuhan Sumber Kasih, tempat Rio tinggal. Kulihat ada seorang bocah kurus yang dilempari batu oleh anak-anak nakal. Di saat itulah aku mulai tertarik padanya, mengawasi ke mana pun ia pergi serta segala aktivitasnya. Dan seberapa tegarnya hati Rio-lah yang membuatku benar-benar yakin bahwa jiwa Lord Aaron ada padanya.”

“Hanya itu?” Kron bertanya dengan suara tinggi, menyangsikan kesaksian temannya.

“Jika kau meminta alasan lain, maka bisa kubilang karena aku prihatin akan nasibnya.” Revan mengalihkan pandangannya dari Kron, menuju Rio. “Rio, tidak masalah jika kau bukan reinkarnasi sang Raja yang sempurna. Keajaiban tetap ada pada dirimu. Dan aku yakin, kau masih dapat berkembang. Sihirpun tiada artinya dibandingkan ketegaran hatimu.”

“Omong kosong.” Rio menyeka air mata yang membasahi pipinya setetes demi setetes. “Padahal awalnya aku begitu senang karena terbebas dari panti asuhan. Akan tetapi … sepertinya ini hanya kesalahan. Katakan padaku, Rev—Julius! Mengapa kau tidak membawaku ke sini sejak dulu, agar aku bisa lebih cepat sadar dan kembali sebagai pecundang?”

“Tujuh belas tahun. Kami sepakat akan membawamu ke negeri Neferty saat berumur tujuh belas. Kau mau tahu kenapa? Karena setiap keturunan raja yang akan naik takhta setidaknya harus berusia tujuh belas tahun. Itu sudah ketetapan,” sergah Kron mendahului mulut Revan. “Tapi kini singgasananya akan tetap diduduki orang yang salah. Astaga! aku sungguh kecewa.” Dia cepat-cepat mendelik pada Revan.

Secara teknis usia Rio memang tujuh belas. Akan tetapi, seperti kata Kron, apa pentingnya usia sakral itu sekarang? Dia bukan raja yang diidam-idamkan rakyat Neferty. Dia hanya korban dari kecerobohan Revan, menurutnya. Anak itu terus menunduk tanpa beranjak dari kursinya, dan nasib juga terasa sama getirnya dengan suasana hati Rio.

Bayrak menjulurkan lidah, membasahi bibir hijau tuanya yang agak kering, lalu mencoba mencairkan suasana. Sebagai seorang alpha, sudah sepantasnya ia bijak dalam menyikapi segala persoalan, baik internal maupun eksternal. Sesaat goblin itu berdiri, Kron langsung bereaksi. Ia ingin lekas pergi, tetapi Revan menahannya.

“Kita sudah telanjur basah. Tidak ada jalan kembali,” desisnya kepada Kron yang terpaksa mengurungkan niat untuk hengkang.

 “Begini saja, karena kalian sudah terlalu jauh mengambil langkah, kurasa tidak baik untuk membatalkannya. Rio terbukti mampu membuat Kholoros bercahaya, meski kita tidak tahu apakah zirah lain juga akan begitu. Jadi, pilihannya cuma dua; lanjutkan perjalanan tanpa raja sempurna, atau mengakhirinya dan membiarkan Tarnath merajalela.” Bayrak berusaha mengakhiri perseteruan yang kian memanas.

Dalam keheningan yang termakan derik api di obor-obor, serta cahaya kemerahan yang membuat bayangan-bayangan panjang di dinding pondok, ketiga manusia itu bungkam, tak siap berkata-kata. Kumpulan lalat mulai menghinggapi sisa makanan Kron yang tampaknya sudah tak enak dilahap, dan tatkala desau angin malam mengusir mereka, maka Revan, Rio, maupun Kron sudah siap mengambil keputusan.

“Aku tidak peduli negeri ini berdiri tanpa raja! Lakukan saja perjalanannya dan akan kita lihat seberapa besar peran Rio untuk negeri Neferty.” Revan menyerukan pilihan pertama dengan lantang—tak ada nada keraguan dalam ucapannya.

Lihat selengkapnya