Kala itu Kron asyik memeriksa barang-barang dari kantung jaket beruangnya, sebelum Lenader datang tergesa-gesa. Wajahnya pucat, dan napasnya menderu dari mulut.
Sial bagi raksasa itu, karena lantainya selalu berderit nyaring ketika ia bergerak sehingga dirinya jadi susah tidur. Alhasil, bangun paling awal dari kedua temannya yang masih pulas di atas ayunan adalah pilihan paling tepat.
“Bu-bukankah kau adik Bayrak?” Kron coba memastikan.
“Benar,” jawabnya serak namun terdengar sendu. “Barusan seorang goblin pulang dengan tangan terputus akibat gigitan Fenrir. Bertahun-tahun tinggal di jantung hutan Nyx dan memangsa vrave rupanya tidak membuat makhluk itu puas. Kini, ia mulai berani melukai goblin.”
“Astaga! A-apa goblin itu baik-baik saja?!”
“Dia sedang diobati, tak perlu khawatir. Namun, satu-satunya hal yang perlu kita cemaskan adalah kenekatan Fenrir. Kalau terus dibiarkan, bisa-bisa dia berani masuk ke dusun ini.” Ketika berucap, mata beriris hijau Leander tampak berkaca-kaca.
“Bayrak pasti tahu jalan terbaik.” Kron menyimpulkan.
“Itulah masalahnya. Kakakku sepertinya tidak peka. Ia justru menolak saranku untuk menyerbu Fenrir, padahal situasinya semakin genting.”
Kron mengusap dagunya, mencoba memikirkan apa yang mesti dilakukan. Setahunya Bayrak tidak pernah suka dengan orang-orang yang melanggar batas, apalagi sudah mengganggu kelangsungan bangsanya.
Kron sontak mendecak kesal. Menurutnya, pasti ada sesuatu—alasan yang berusaha disembunyikan Bayrak dari rakyatnya—yang menjadi ketakutan terbesarnya terhadap Fenrir.
Telinga runcing Leander melambai cepat sesaat dirinya menunggu respon dari Kron yang masih diam, mengusap-usap dagu berlekuknya. Lama-kelamaan ia jadi bosan, sehingga geligi tajamnya menggertak tak karuan, berusaha memberi isyarat walau hasilnya nihil.
“Oh, astaga! Maksudku, bisakah kalian membujuk Bayrak untuk memulai penyerbuan secepatnya?” kata Leander. Suaranya bertambah serak.
“Tidak bisa!” sergah seseorang yang menyelinap dari balik pintu pondok. Dia Revan yang rupanya menguping pembicaraan sedari tadi. “Fenrir, kau bilang? Aku tentu tahu alasan Bayrak tidak mau melawannya. Makhluk itu tercipta dari sihir hitam. Tidak pernah ada yang tahu kapan atau kenapa ia berada di sini. Dan, aku yakin kalau Fenrir sejenis alat yang punya kekuatan magis.”
Leander menggeram seraya mendelik tajam pada lelaki berjas di hadapannya, kemudian berkata: “Cukup sudah! Aku sudah dengar pembicaraan kalian tadi malam, saat di dapur. Anak yang tidur di dalam itu mampu membuat Kholoros bersinar, bukan?”
“Dia bukan Raja! Sama sekali tak ada hubungannya dengan kita,” celetuk Kron. Alisnya melengkung kesal.
“Aku tidak peduli,” jawab Leander seraya berjingkat-jingkat untuk menemukan posisi Rio di balik Revan dan Kron. “Hoy, Calon Raja! Bangunlah. Aku butuh bantuanmu!” serunya, membuat Rio menggeliat malas lalu turun dari ayunan.
Tidak terima, Revan bergegas mencegatnya sesaat ingin keluar pondok. Kepalanya menggeleng—mengisyaratkan kepada Rio agar diam di tempat.
“Ada apa?” desis Rio.
“Hushh!” tegurnya setengah berbisik.
Di sisi lain, Kron terlihat sibuk berargumen dengan goblin yang keras kepala, seakan tengkoraknya itu terbuat dari batu. Ia selalu saja punya cara agar lolos dari sergahan-sergahan lawan bicaranya. Bahkan, kini teriakannya kembali terdengar, membuat beberapa goblin mengintip dari jendela pondok mereka.
“Keluarlah! Keluarlah! Aku tahu kau ingin membuktikan betapa hebatnya dirimu, Calon Raja. Bukankah sebelumnya kau menawarkan untuk membantu kami membantai Fenrir?”
Rio tersentak (baru saja ingat kecerobohannya kemarin dengan bilang dirinya bersedia mengalahkan Fenrir) berharap ucapannya hanya dianggap gurauan. Wajahnya gusar dan matanya mengawasi Leander yang mondar-mandir di luar. Saat itu detak jantung Rio meningkat, terlalu cemas, apalagi dengan segala kenyataan yang baru di dengarnya tadi malam.
“Pergilah, Goblin gila!” Bentakan Kron terdengar. “Kami tidak berminat dengan tawaranmu.”
“Kalau begitu kita adalah musuh. Ingat baik-baik! Secepatnya, aku akan mengusir kalian dari sini.” Leander memalingkan wajahnya lalu bergegas pergi, sebelum kakinya berhenti mendadak. Ia menoleh bersama geligi runcingnya yang menggertak. “Dan, jangan pernah harap Kholoros keluar dari kampung ini.”
Perginya Leander menyisakan keheningan serta tatapan mengancam dari sela-sela jendela pondok di seberang jalan setapak. Tak mau ambil pusing, Kron segera masuk ke dalam seraya mendorong Revan mengikutinya.
“Bagaimana menurutmu, Julius?!” Ia bertanya sambil menutup pintu keras-keras.
“Kau pasti sudah tahu,” sahut Revan. “Kalaupun setuju, mengalahkan Fenrir tetaplah mustahil. Goblin-goblin itu adalah pengendali api. Namun, kenyataanya mereka tidak mampu menang.”
“Leander sempat membicarakan sinar Kholoros. Apakah menurutmu ada hubungannya dengan Fenrir? Mungkin kelemahan atau sejenisnya.” Kron membungkuk agar suara pelannya terdengar.
“Memang, sih. Buku panduan sihir mengatakan bahwa ilmu hitam, sekuat apa pun itu, tetap akan lenyap apabila berhadapan dengan sinar zirah suci,” jelas Revan yang di detik berikutnya tampak memilin-milin bibir bawahnya, merasa bimbang. “Masalahnya, di tangan Rio zirahnya hanya bersinar selama sepuluh detik. Kurasa membunuh Fenrir memerlukan waktu lebih banyak dari itu.”
“Kau benar.” Kron mendecak kesal. “Tetapi kuyakin pasti ada caranya. Hewan kegelapan tak ubahnya seperti Gorgon, lemah terhadap cahaya suci dan … oh, tentu saja! Barangkali Fenrir kebal terhadap serangan, namun itu tetap saja mengganggunya, bukan?”
Revan mengernyitkan dahi, menatap temannya yang begitu antusias: “Mengganggu bagaimana?”
“Maksudku, kita bisa mengulur waktu di selang waktu sepuluh detik dengan cara menyerang Fenrir sehingga perhatiannya terbagi. Sementara itu, Rio menyiapkan diri untuk membuat Kholoros bersinar selama sepuluh detik berikutnya.” Kron tersenyum lebar. “Kalau terus begitu, Fenrir pasti akan kalah!”
“Entahlah. Itu terdengar sangat berisiko, apalagi ….” Revan merapatkan kedua tangannya ke mulut seraya mendekati telinga Kron, sementara matanya mengerling pada Rio yang diam keheranan di sudut pondok. “Kau tahu, kan? Rio selalu saja cemas dan takut jika berhadapan dengan sesuatu yang tidak dikenalnya.”
Kron mendengus pelan seiring kedua mata beriris hijaunya yang terpejam. Diliriknya pemuda kurus—berbalut kaos cokelat pudar dan celana pendek yang berbatasan dengan lutut mencuatnya—membuat Kron agak meragukan ucapan Revan tadi malam. Ia bilang Rio memiliki hati Lord Aaron: Berpendirian kuat, jujur, lebih-lebih tegar. Akan tetapi, ia baru saja sadar kalau tidak ada kata ‘berani’ di situ.
“A-aku bisa membantu, kok.” Rio berucap canggung seraya mendekati kedua temannya.
“Sudahlah, jangan memaksakan dirimu,” ujar Kron mengasihani.