Di halaman belakang pondok Bayrak, sejumlah goblin kurus tengah asyik menyikat bulu cokelat para cornibus. Selain gemercik air, lenguh badak-badak gempal itu juga meramaikan suasana.
Balai kampung lain lagi ceritanya. Bayrak mengumpulkan semua prajurit terbaiknya, kemudian membiarkan mereka mengatur barisan. Bersama belati di genggaman kanannya, goblin itu terlihat mondar-mandir di depan.
“Hari ini leluhur kita akan berbangga. Cerita-cerita seram, teror demi teror, ratusan ancaman yang menghujam dusun kita akan sirna sebentar lagi. Sang perusak, Fenrir akan mati malam ini. Darahnya akan menggenangi tanah hutan Nyx, geliginya akan menjadi kalung paling berharga, dan berita kematiannya akan jadi kabar terbahagia sepanjang sejarah kita.” Kala berbicara, kilauan mata hitam Bayrak tampak berapi-api. “Tegakkan punggung kalian, Wahai pejuangku! Karena para goblin akan menghancurkan tirani kegelapan!” Teriakan semangat lantas bergemuruh bagaikan bunyi genderang perang.
Di lain sisi, Revan bersama Rio terlibat adu argumen dengan Kron. Seperti biasa, raksasa yang sok loyal itu kerap kali meneguhkan egonya di hadapan si Raja palsu. Dia juga sering menyinggung perbedaan kasta antara manusia biasa dengan para penyihir.
Sifat penakut Rio pun ikut kena imbasnya, dan tuduhan itu agaknya membuat Rio muak. Walau agak membungkuk, tetapi tatapannya menusuk tajam kepada Kron. Cukup sudah, sekarang ia ingin membela diri.
“Kalau begitu, lakukanlah demi bangsa goblin. Tak perlu pikirkan aku!” tukasnya geram, membuat kedua lawan bicaranya tertegun. “Kau bersikeras membangga-banggakan rajamu yang seolah tak berdosa, tetapi tanpa sadar kau melupakan dirimu sendiri, Kron! Aku sadar diriku tak sebanding dengan rajamu, begitu pun raja lainnya. Akan tetapi, bila kita tidak bertindak sekarang, apakah menurutmu hasilnya akan lebih baik? Kuyakin tak satu pun dari kalian yang tahu keberadaan reinkarnasi sang Raja. Jadi, negeri ini harus menahan derita berpuluh-puluh tahun lagi, atau bahkan lebih demi menemukannya.” Napas Rio memburu ketika kalimatnya berakhir.
Revan maupun Kron mendadak bungkam. Mereka terkesiap mendengar pembelaan Rio barusan. Kendati hidung mancung Kron masih mendengus jengkel, hati batunya perlahan melembek. Egonya telah tergerus oleh nurani, atau lebih tepatnya kenyataan bahwa perkataan Rio benar.
“Sudah kubilang anak ini punya hati Lord Aaron, bukan?” Revan berucap pelan.
“Hey, Rio!” tegas Kron. “Aku tidak peduli dengan hatimu yang katanya warisan Lord Aaron. Namun, kupikir-pikir ucapanmu itu ada benarnya. Walaupun singgasana kami tak pernah diduduki lagi, setidaknya negeri ini tetap mendapatkan haknya.” Senyum tipis mekar di tengah raut kesalnya.
“Jadi?” Revan menyengir, ia tahu betul isi hati sang Raksasa.
“Jadi apa?” sergah Kron, dahinya berkedut. Revan hanya menggoyang-goyangkan alis tebalnya seakan menarik rentetan kalimat dari mulut Kron. “Astaga! Baiklah, aku akan ikut andil dalam perburuan ini,” katanya pasrah.
“Be-benarkah?” Rio terperangah.
“Kau sudah dengar, bukan?” gerutu Kron seraya memicingkan matanya. “Kalau kalian bertanya tentang kejadian kemarin malam, maka aku akan menyerukan pilihan pertama. Lanjutkanlah perjalanannya!”
Rio sontak berseru riang. Akhirnya rencana yang rumpang itu bisa sempurna berkat persetujuan dari Kron. Tidak ada lagi ego yang membatasi perbedaan, sifat payah itu telah digantikan rasa saling percaya. Biarpun cuma sepercik, setidaknya benih kepercayaan itu akan tumbuh menjadi kerja sama dan membuahkan keberhasilan.
Selagi Kron mengganti jaket beruangnya dengan mantel tikus mondok, Revan dan Rio memutuskan berangkat ke balai kampung duluan. Di atas tanah cokelat berlumpur, mereka dapat jelas melihat tapak kaki para goblin yang berlarian ke sana-kemari demi memasok kebutuhan penyerbuan.
Seekor goblin kelabakan menuju balai kampung bersama seikat tombak runcing di punggungnya. Sementara itu, tampak tiga ekor lainnya tengah memikul sekantung penuh bebatuan. Cukup berat memang, tetapi antusiasme memicu kekuatan di kaki-kaki kecil mereka, sehingga sanggup mengangkutnya sejauh mana pun.
Bayrak tengah mengawasi pekerjaan rakyatnya ketika Rio dan Revan tiba. Sembari bersedekap, ia menatap kedua orang itu—mengira-ngira topik macam apa yang akan keluar dari mulut mereka.
“Bagaimana persiapannya?” Revan berucap.
“Cukup baik. Kita hanya perlu menyempurnakan taktik dan kemampuan bertarung.” Bayrak menoleh ke arah kumpulan goblin yang sibuk memainkan tombak. “Baru kali ini kulihat semangat mereka tumbuh sebesar itu.”
“Rakyatmu sangat antusias, kau tahu? Andaikan nanti Fenrir mati, barangkali kampung goblin akan sebebas dulu,” ujar Revan.
“Ingatlah, Tarnath masih menghadang kita.” Ada kesedihan yang membayang di wajah Bayrak kala berucap demikian. “Namun, kami akan sangat bersyukur jika beberapa ekor vrave masih tersisa untuk erevna tahun mendatang.”
“J-jadi kau akan turun jabatan tahun depan?” Revan agak kaget bercampur kecewa. “Semoga pemimpin selanjutnya sebijak dirimu, Bayrak.”
“Bukan tahun depan, dua atau tiga tahun lagi, mungkin. Ada banyak kandidat untuk periode selanjutnya, termasuk anakku. Aku tidak berharap banyak, yang terpenting alpha selanjutnya bisa melindungi dusun ini.”