Senyap. Pandangan Revan yang menelusuri deretan pohon tua di bawah sinar rembulan kelihatannya belum menghasilkan apa-apa, selain lembaran daun yang rontok bekas kelincahan binatang malam. Penasaran, ia mencoba terbang lebih jauh lagi sehingga nyala api para goblin memudar dari jangkauan matanya.
Malam semakin pekat dan Revan hanya berkutat pada salah satu dahan pohon trambesi yang tampak seram di tengah kegelapan. Telinga tak berdaunnya dapat mendengar kerik jangkrik serta kegaduhan burung hantu yang beruhu-uhu ria.
Untuk sesaat, Revan benar-benar waspada terhadap gemerisik semak-semak yang menutupi bebunyian lain. Mata mungilnya menatap tajam ke sumber suara tersebut. Selama satu-dua detik diawasi, rupanya itu hanyalah seekor babi hutan bongsor yang meringkik sumbang. Kecewa sekaligus ngeri. Sebab, jika itu adalah Fenrir, sudah pasti dia akan tamat.
Nyaris setengah jam Revan bertengger di dahan pohon, menunggu sesuatu yang besar berkunjung. Fenrir tampaknya terlalu malu bersanding dengan syahdunya nuansa malam. Semakin lama, entah mengapa kaki-kaki si burung kecil seolah dipaksa turun dari dahan pohon. Tanpa sadar, sayapnya mengepak turun ke tanah cokelat gelap yang menampung puluhan helai daun mati kemerahan.
Revan melompat-lompat kecil, berpindah beberapa langkah dari posisi semula. Situasi masih hening seperti sebelumnya. Tidak ada suara mencurigakan, kecuali hawa panas yang kerap kali menjalari tengkuknya. Hawa yang berembus teratur, dan semakin cepat hingga terasa menusuk.
Mengira ada yang janggal, sontak saja Revan menoleh. Sungguh, detik itu juga kesunyian pecah seketika. Suram menyelimuti hutan, membawa kengeringan bagi siapapun yang menantang maut malam itu.
Seekor serigala berbulu kelabu mengendus penuh nafsu, mencium aroma lezat burung yang terlampau bodoh untuk turun ke tanah. Mata liarnya semerah darah, terpaku pada tubuh kecil Revan, nyaris jereng.
Meski rusuk menyembul di balik dada berkulit tipisnya—mengindikasikan bahwa ia tak seseram pamornya—tetapi makhluk itu punya sepasang taring pedang yang sudah basah akan ludah. Faktanya, ia tetaplah mematikan bagi seekor burung.
SRASH!
Fenrir menyambar mangsanya secepat kilat. Mulut lebarnya mengatup serakah, tetapi refleks Revan lebih unggul. Ia memelesat ke arah legiun goblin yang menunggu kabar sedari tadi. Sambil berkicau panik, kepakkan sayapnya tak melambat sedikit pun.
Desau angin malam yang kebetulan berlawanan arah membuat laju Revan terpuruk. Benar-benar sial, sebab Fenrir sudah siaga di bawah, menyambar-nyambar coba menjangkaunya.
Dalam sekali entak, tubuh Fenrir membumbung tinggi. Sementara itu, Revan akhirnya goyah manakala kaki kirinya terselip di antara rahang sang predator. Dalam jarak yang terpaut cukup jauh dari pasukan goblin, ia dinyatakan gagal menunaikan tugas.
Revan enggan menyerah, ternyata. Tanpa pikir panjang diakhirinya mantra pengubah wujud, sehingga ia kembali menjadi pria berwibawa. Moncong Fenrir yang kurang sigap pun spontan melepaskan kakinya.
Serigala itu menggeram sengit. Di sisi lain, Revan berusaha menghambat pergerakan Fenrir agar terlambat mencapai tempat Bayrak dan pasukan goblin.
“Transfiguration: Harimau!” Ia merapal mantra.
Maka kekarlah otot-otot bahu Revan. Irisnya menajam diikuti tubuh yang berganti kulit bulu jingga-hitam. Taringnya runcing di antara deretan gigi pengoyak, dan dalam detik-detik terakhir, wujudnya berubah menyerupai seekor harimau beringas.
Fenrir melolong geram, kemudian maju menyerang musuhnya. Pergelutan antara dua pemangsa terjadi di kegelapan malam. Taring Revan menancap kuat di tengkuk Fenrir yang sibuk mencakar perutnya.
Sentakan-sentakan cepat dapat mengubah keunggulan kapan saja. Sesaat gigitan Revan mulai lemah, taring pedang Fenrir meluncur ke sisi kerongkongannya dalam sekejap. Beruntung, Revan sempat menyentak kuat, sehingga keduanya terpisah sejauh tiga langkah.
Mereka berjalan melingkar, mengawasi satu sama lain. Dedaunan meranggas akibat terpaan angin, selagi deram yang sarat akan ancaman berkumandang. Geraman Revan menusuk setiap kali darah segar menetes dari perutnya yang tergores, sedangkan Fenrir tampak memandang ke sana-kemari seakan mencari celah untuk menyergap.
Sepersekian detik berlalu, akhirnya Revan mengawali perkelahian kedua. Kali ini ia mencoba menerjang sang lawan. Namun, sesaat dirinya nyaris menancapkan cakar-cakar tajam, Fenrir tiba-tiba meleleh.
Wujudnya berganti menjadi cairan hitam yang meluncur gesit ke sisi belakang Revan. Secepat kilat, cairan itu kembali menjelma menjadi sosok serigala, dan Revan yang terlalu lamban bereaksi harus pasrah ketika tubuhnya dihujam cakar melengkung sang lawan.
Kendati sudah berontak, tetap saja tindihan Fenrir tak bergeser sejengkal pun. Buruknya lagi, taring pedangnya tampak berkilat-kilat diterpa sinar pucat rembulan. Itulah senjata yang paling perlu diwaspadai.
Revan mengaum kecil tatkala tancapan cakar Fenrir beringsut mengoyak kulitnya, menghasilkan luka yang memuntahkan darah segar. Sebisa mungkin dirinya berusaha menyambar moncong Fenrir yang luput dari perlindungan, tetapi kondisinya memang tidak menguntungkan.