Gedung itu menjulang tinggi, tapi tak punya bayangan. Di depannya tertulis: Kementerian Ketepatan Tidur dan Jam Kerja Nasional. Mereka menyebutnya Kantor Pengatur Waktu—tempat semua detik disusun, semua pagi dideklarasikan, dan semua malam diawasi.
Di ruang lobi, seorang petugas dengan seragam abu-abu memintaku menunjukkan Surat Izin Bermimpi. Aku menggeleng. Ia mendesah, mencatat namaku di sebuah buku tebal yang penuh noda tinta, lalu memberiku stempel di dahi: “Pengembara Waktu Tidak Sah.”
“Silakan masuk,” katanya datar, “tapi jangan terlalu lama. Di negeri ini, bermimpi terlalu lama dianggap subversi laten.”
Aku berjalan melewati deretan ruangan yang dipenuhi pegawai dengan mata merah dan tangan yang tak berhenti mencatat angka. Mereka sedang menghitung jumlah hari yang berhasil dihemat dari rakyat kecil agar bisa disumbangkan ke pesta ulang tahun pejabat besar.
Di tengah gedung, ada ruang sidang besar yang disebut Rapat Evaluasi Waktu Nasional. Di sana, para Menteri Tidur mengatur ulang kalender: menghapus hari libur, memperpanjang Senin, memadatkan malam minggu menjadi empat menit.