Aku ditangkap dini hari, saat mimpiku mulai mempertanyakan arti pembangunan.
Petugas bermata satu menyeretku keluar dari kamar tidur. Di tangannya ada borgol yang terbuat dari narasi. Setiap kali aku melawan, ia membacakan kutipan pidato, dan tubuhku langsung lemas, seperti rakyat yang sudah lelah percaya.
“Pasal 17, ayat 3,” gumamnya, “tidur boleh, asal mimpinya sesuai dengan arah kebijakan negara.”
Aku dibawa ke ruang pengadilan yang tak punya atap. Hakim duduk di atas singgasana yang terbuat dari televisi bekas. Wajahnya tak terlihat, hanya ada topeng bergambar lambang negara yang sudah terkelupas. Di sisi kiri duduk jaksa dengan seragam lengkap, membawa setumpuk laporan hasil tafsir mimpi. Di sisi kanan, bangku pembela kosong.
“Sidang atas nama Negara Tidur dibuka!” teriak petugas.
Jaksa berdiri. “Terdakwa telah bermimpi melawan arus. Ia membayangkan hidup tanpa utang, jalanan tanpa baliho, dan televisi tanpa propaganda. Ini jelas subversif!”
Hakim mengetuk palu. “Apa motifmu bermimpi sejauh itu?”