Malam semakin gelap, tapi mimpi kami semakin terang. Mereka yang dulu tidak pernah merasa, mulai merasakan. Mereka yang terbiasa tidur dengan hampa, kini mulai berlari dalam mimpi yang penuh makna. Ada suara yang tumbuh dalam tidur kami—suara yang jauh lebih keras dari sekadar bisikan.
Seorang pria, yang wajahnya tak pernah tampak jelas, muncul di antara kami. Dia hanya dikenal sebagai Pemimpi Besar—pemimpin baru bagi mereka yang terjaga di alam mimpi. Tidak ada yang tahu asalnya, namun setiap kali ia muncul, mimpi berubah. Semua orang merasakannya, seperti gemuruh yang mendalam.
Di dalam ruang mimpi yang kami bangun, Pemimpi Besar mulai menanamkan satu kalimat yang berulang-ulang dalam setiap tidur yang ia jamah:
“Mimpi kita bukanlah hadiah. Mimpi kita adalah senjata.”
Di dunia yang tidur, hanya ada satu aturan: jangan pernah berteriak keras dalam mimpi. Karena jika kau melakukannya, mereka yang menjaga mimpi akan mendengar, dan mereka akan menghukummu.
Tapi Pemimpi Besar tahu cara melawan. Di setiap mimpi yang ia jamah, ia menanamkan serpihan ingatan. Di setiap mimpi yang ia sentuh, ia menanamkan perasaan—perasaan tentang ketidakadilan, tentang pembungkaman, tentang hidup yang lebih baik di luar belenggu mimpi ini.