Negara, Hidup dan Mimpi

Renaldy wiratama
Chapter #11

Pilihan di Antara Mimpi dan Kenyataan

Langit biru yang tadinya hanya menjadi bayangan kini memancarkan cahaya. Kami—aku, S, dan Pemimpi Besar—berdiri di tengah-tengah kota yang dulu tampak seperti papan permainan tidur yang dikelola oleh para penguasa. Namun sekarang, segala sesuatu terasa nyata. Begitu nyata, hingga aku hampir merasa tidak siap.

Kami berhasil menghancurkan Menara Tidur. Kami berhasil membuka mata jutaan orang. Tapi kenyataannya… lebih sulit dari yang kami bayangkan.

Ketika sistem mimpi runtuh, seluruh dunia terbangun dalam kebingungan. Tidak ada lagi penghalang, tidak ada lagi dunia yang penuh dengan ilusi. Mereka yang terbiasa hidup dalam kenyamanan mimpi mulai tercekik dengan kenyataan yang pahit—kenyataan yang mereka tidak siap untuk hadapi.

Di jalanan, orang-orang terlihat bingung, seolah-olah mereka baru pertama kali melihat matahari. Mereka berjalan dengan kaki yang terhuyung-huyung, terjebak antara kebingungan dan keterkejutan. Dunia yang mereka kenal selama ini adalah dunia tidur—sekarang mereka harus menghadapinya tanpa panduan.

Pemimpi Besar memandang kota yang runtuh dengan tatapan kosong. “Ini bukan kemenangan,” katanya, suaranya berat. “Ini baru awal dari kebingungannya. Kita harus memilih: terus bermimpi atau menerima kenyataan.”

Aku merasakan getaran dalam tubuhku. Rasanya seperti aku sedang berada di persimpangan—apakah kita benar-benar ingin melepaskan dunia mimpi yang selama ini membuat kita merasa aman? Atau apakah kita harus menerima kenyataan yang kering, dingin, dan penuh dengan ketidakpastian?

S menatapku dengan tatapan yang lebih tajam daripada sebelumnya. “Kita sudah membuat pilihan. Mimpi adalah senjata kita. Kalau kita berhenti sekarang, maka sistem ini menang lagi.”

Lihat selengkapnya