Pagi baru saja terbit, namun dunia masih tertutup kabut tebal. Seperti mimpi yang belum sepenuhnya terbangun. Kota yang dulunya tampak begitu rapi, kini berubah menjadi serpihan-serpihan dari sistem yang telah runtuh. Ada sesuatu yang berbeda di udara—sebuah perasaan bahwa kami telah menciptakan sesuatu yang baru. Namun, ada juga ketakutan yang tak bisa kami hindari: apakah apa yang kami bangun akan bertahan?
Kami, yang dulu bersembunyi di bawah bayang-bayang mimpi, kini menghadapi kenyataan yang keras. Setiap langkah yang kami ambil terasa lebih berat, dan setiap keputusan yang kami buat menjadi pertaruhan hidup dan mati.
Pemimpi Besar berjalan di depanku, mata merahnya masih penuh dengan semangat, tetapi ada kelelahan yang tak bisa disembunyikan. “Kita masih belum menang,” katanya dengan suara yang penuh tekad, meskipun ia tahu betul apa artinya itu. “Satuan ABN masih ada di luar sana. Mereka akan datang, dan kita tahu apa yang mereka rencanakan.”
S menatap ke kejauhan, matanya penuh dengan kecemasan. “Mereka tidak akan berhenti. Mereka akan melawan kita dengan cara yang lebih keras. Tapi kita tidak punya pilihan. Kita tidak bisa mundur.”
Aku mengangguk. Dunia ini kini berada di ujung tanduk—di ujung garis tipis antara mimpi dan kenyataan. Kami tidak hanya melawan musuh fisik, tetapi juga melawan ilusi yang telah mereka tanamkan selama bertahun-tahun. Kami tidak bisa kembali ke dunia yang dulu—kami tidak bisa kembali ke kenyataan yang hanya memberi kami kebohongan.
Mimpi kami telah menjadi kenyataan, tetapi kenyataan itu kini terancam hancur. Di setiap sudut kota, Satuan ABN bergerak dengan kekuatan penuh, mencoba meredam gelombang kebangkitan yang mulai merebak. Mereka yang telah lama tidur kini terbangun dengan perasaan cemas dan bingung. Dunia yang penuh harapan itu terasa rapuh, terancam oleh bayang-bayang gelap yang terus mengikuti.