Ledakan terakhir mengguncang tanah, menghantam bumi dengan kekuatan yang belum pernah kami rasakan sebelumnya. Di depan kami, Satuan ABN telah mengerahkan segala kekuatan yang mereka miliki, pasukan yang terlatih untuk menghancurkan segala bentuk perlawanan. Mereka tahu bahwa ini adalah titik balik—jika mereka menang, dunia yang kami bangun akan kembali jatuh ke dalam kekuasaan mereka. Mereka tahu kami adalah ancaman terbesar, dan mereka tidak akan memberi ampun.
Aku berlari, meskipun kakiku terasa lelah, meskipun tubuhku ingin menyerah. Di belakangku, Pemimpi Besar dan S masih bergerak, tidak ada yang berhenti. Kami tahu bahwa jika kami berhenti, jika kami menyerah, maka semua yang telah kami lakukan akan sia-sia.
Di tengah kebingungan dan ledakan yang terus mengguncang kota, aku tiba di sebuah jembatan yang terbuat dari besi tua. Di bawahnya, sungai yang tenang mengalir, mencerminkan langit yang mulai gelap. Di sini, di atas jembatan ini, aku merasa seperti berada di ujung dunia—dunia yang telah kami ciptakan, dunia yang kini terancam hancur.
Pemimpi Besar berdiri di sampingku, wajahnya penuh dengan ketegangan. “Ini adalah pilihan terakhir, Damar. Kita harus memutuskan. Apakah kita akan terus bermimpi? Ataukah kita akan menerima kenyataan yang telah menunggu?”
S berdiri di belakang kami, matanya terfokus pada medan pertempuran yang semakin mendekat. “Mimpi itu adalah senjata kita, tapi kenyataan juga tidak bisa dihindari. Jika kita terus bermimpi, apakah kita siap menghadapi kehancuran yang datang bersamanya?”