Waktu seakan berhenti sejenak ketika aku berdiri di tengah medan pertempuran, dikelilingi oleh reruntuhan kota yang kami coba bangun kembali, dengan Satuan ABN yang siap melancarkan serangan terakhir. Ledakan yang menghancurkan semakin sering terdengar, sementara udara tebal dengan debu dan asap. Namun, di tengah semua kehancuran ini, ada perasaan aneh yang berkembang dalam dadaku—perasaan bahwa meskipun kami telah sampai di ambang kehancuran, kami masih memiliki harapan.
Pemimpi Besar berdiri di sampingku, matanya tajam menatap pasukan yang semakin mendekat. “Ini titik balik kita, Damar. Kita memilih untuk terus berjuang, meski jalan yang ada penuh dengan api dan abu.”
S memegang senjatanya erat-erat. “Tidak ada jalan mundur. Kita sudah terjaga. Kita harus memastikan mereka tahu bahwa kita tidak akan menyerah.”
Aku menatap medan perang yang terbentang di depan kami. Mimpi—yang selalu kami anggap sebagai pelarian—sekarang menjadi kenyataan yang tak bisa dihindari. Dunia yang kami bangun ini, dengan segala keindahan dan kehancurannya, adalah hasil dari keputusan kami. Tidak ada jalan untuk kembali ke kehidupan lama yang nyaman itu. Kami sudah melewati batas.
Ketika pasukan Satuan ABN akhirnya tiba di depan kami, mereka tidak hanya membawa senjata—mereka membawa seluruh kekuatan sistem yang telah menindas kami selama bertahun-tahun. Mereka adalah representasi dari kebohongan yang selama ini telah kami lawan. Kami tahu bahwa dalam pertempuran ini, kami tidak hanya melawan pasukan fisik, tetapi juga melawan ilusi yang telah mereka ciptakan.
“Damar,” Pemimpi Besar berkata, suaranya keras dan penuh determinasi. “Jika kita gagal sekarang, maka semua ini—semua mimpi kita—akan menjadi kehancuran total. Kita akan kembali ke dunia yang dulu. Tapi jika kita menang, kita akan membangun dunia ini bersama-sama. Dunia yang lebih baik.”
Aku menarik napas dalam-dalam. Apa pun yang terjadi, kami tidak bisa mundur lagi. Mimpi ini sudah lebih dari sekadar harapan. Ini adalah kenyataan yang harus kami perjuangkan.