Keheningan melanda sejenak, menyusul ledakan dahsyat yang mengguncang langit. Seperti dunia berhenti berputar, dan hanya ada kami di tengah-tengah kehancuran. Pasukan Satuan ABN telah memukul mundur kami dengan serangan terakhir mereka, yang begitu kuat hingga kami hampir tak mampu bergerak. Namun, meski dunia kami runtuh, ada secercah harapan yang masih bertahan di dalam dada setiap orang yang berdiri di sini.
Di hadapanku, Pemimpi Besar berdiri, tubuhnya tertutup darah dan debu. Namun, matanya masih bersinar—tidak ada keraguan dalam tatapannya. Di belakangnya, S juga berdiri, senjatanya terhunus, meski tangan gemetar, tapi mereka tidak mundur. Mereka tetap ada di sini, bersama kami, bertarung sampai titik darah penghabisan.
Hari tanpa mimpi itu akhirnya datang. Hari ketika semuanya terasa seperti kenyataan yang tak bisa dibantah. Kami telah sampai pada batasnya, dan kami tidak tahu apakah kami akan bertahan atau hancur begitu saja.
Di belakang kami, deru mesin dan suara pasukan Satuan ABN semakin mendekat, tanda bahwa waktu kami semakin habis. Kami tahu, jika kami jatuh sekarang, jika kami gagal, maka dunia yang telah kami bangun—dunia yang kami impikan—akan hancur selamanya. Kami akan kembali ke dunia yang gelap, dunia yang dipenuhi dengan kebohongan dan pengendalian.
“Ini titik terakhir, Damar,” Pemimpi Besar berbisik, suaranya serak, tetapi penuh keyakinan. “Kita tidak bisa mundur. Kita sudah memilih jalan ini. Mimpi ini adalah kita, dan kita adalah mimpi ini. Jika kita menyerah sekarang, dunia ini akan jatuh dalam kegelapan selamanya.”
Aku mengangguk pelan, meskipun rasa takut mencekamku. Kami telah berada di ambang kehancuran. Namun, jika kami menyerah, jika kami mundur, maka semua yang telah kami lakukan akan sia-sia. Kami akan kembali ke dalam mimpi palsu yang selama ini kami coba hancurkan. Kami tidak bisa kembali ke sana.