Di tengah debu dan reruntuhan, dunia kami berubah menjadi sepi. Ledakan terakhir yang mengguncang bumi kini hanya meninggalkan sunyi yang mencekam. Pasukan Satuan ABN telah mengalahkan kami, menghancurkan segala yang kami bangun. Dan meskipun kami masih hidup, rasanya seperti kami telah mati. Kami tidak lagi berada di dunia yang kami impikan, dunia yang penuh dengan harapan dan kemungkinan. Kini, kami hanya terjebak dalam kenyataan yang dingin dan keras—kenyataan yang jauh lebih pahit daripada yang pernah kami bayangkan.
Aku berdiri di tengah puing-puing, mataku menatap langit yang perlahan menghitam. Pemimpi Besar berdiri di sampingku, tubuhnya terluka parah, namun matanya masih menunjukkan secercah harapan yang tak bisa padam. S juga di sana, berdiri tegak meskipun tubuhnya lemas. Kami tidak kalah dalam tubuh—kami kalah dalam mimpi.
“Mimpi ini…” Pemimpi Besar berkata pelan, suaranya hampir hilang tertelan angin. “Apakah kita benar-benar salah memilih untuk bertarung? Apakah kita salah bermimpi tentang dunia yang lebih baik?”
Aku menatapnya, hati terasa berat. Mimpi itu, yang dulu begitu jelas, kini terasa seperti bayangan yang mulai pudar. Kami telah berjuang dengan segenap jiwa untuk sesuatu yang mungkin tidak pernah ada, sesuatu yang terlalu jauh untuk dijangkau. Tetapi apakah itu berarti kami harus menyerah? Apakah kami harus berhenti bermimpi hanya karena kenyataan lebih keras dari yang kami duga?
“Tidak,” jawabku dengan suara yang lebih tegas dari yang kurasakan di dalam hati. “Kita mungkin kalah dalam pertempuran ini, tapi mimpi kita tidak akan mati. Mimpi itu ada dalam kita. Dalam setiap langkah yang kita ambil, dalam setiap pilihan yang kita buat.”