Dunia yang dulu kami impikan kini terhampar sebagai tumpukan puing-puing yang berserakan. Hancur, tapi tidak musnah. Di atas tanah yang dipenuhi abu dan darah, kami berdiri—lebih lemah, lebih terluka, tapi tidak patah. Mimpi yang dulu begitu terang kini pudar, seolah tenggelam dalam kegelapan yang tak terhingga. Namun, di antara reruntuhan itu, ada sesuatu yang baru—sebuah harapan kecil yang mulai berkembang.
Aku duduk di atas batu besar, menatap langit yang kelam, bertanya pada diri sendiri apakah ini akhirnya—apakah ini akhir dari semua perjuangan kami. Apakah semua yang telah kami lakukan sia-sia? Apakah perjuangan kami untuk dunia yang lebih baik sudah berakhir?
“Damar,” suara Pemimpi Besar terdengar di belakangku. “Kita tidak akan pernah mengakhiri mimpi kita. Mimpi itu ada di dalam kita. Tidak ada yang bisa menghancurkannya, meskipun dunia kita telah hancur.”
Aku menoleh, dan matanya yang biasa tajam kini dipenuhi keraguan. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang masih bertahan—sebuah api yang belum padam. “Aku tahu kita telah kalah, Pemimpi Besar. Tapi apakah ada lagi yang tersisa? Dunia yang kita bangun—segalanya—telah runtuh. Apakah ada jalan untuk kembali?”
Pemimpi Besar berjalan mendekat, menatap reruntuhan yang membentang di depan kami. “Kita mungkin tidak bisa mengembalikan apa yang telah hilang. Tapi kita bisa membangun sesuatu yang baru, sesuatu yang lebih kuat. Kita bisa mencari mimpi lain, satu yang lebih nyata, lebih dekat dengan kenyataan. Mimpi itu tidak hilang, Damar. Ia hanya berubah bentuk.”
S yang berdiri di sisi lain, menatap tanah dengan wajah penuh pemikiran. “Tidak ada yang benar-benar hilang. Bahkan setelah semuanya hancur, kita masih bisa menemukan jalan. Mungkin dunia ini tidak akan pernah menjadi seperti yang kita bayangkan, tapi kita masih bisa mengubahnya—meskipun itu dengan cara yang berbeda.”