Waktu terasa semakin sempit. Dunia yang kami impikan kini telah runtuh sepenuhnya, dan di atas puing-puingnya, kami harus memilih: bertahan atau menyerah. Kami telah berada di titik paling rendah, di tempat di mana segala harapan tampaknya sirna. Namun, meskipun semuanya hancur, ada satu hal yang tidak bisa dihancurkan: keberanian untuk memilih.
Aku berdiri di tengah reruntuhan, mata menatap ke depan dengan tatapan kosong. Dunia ini sudah kehilangan bentuknya, dan kami hanya bertahan hidup karena kebiasaan. Tidak ada lagi mimpi, tidak ada lagi perjuangan—hanya bertahan hidup di dunia yang keras dan tak memihak.
“Damar,” suara Pemimpi Besar memecah keheningan. “Kita tidak bisa berhenti sekarang. Kita masih punya pilihan. Kita bisa terus bertarung, atau kita bisa menyerah. Tapi jika kita menyerah, kita akan menjadi bagian dari kehancuran ini.”
Aku menatapnya, terperangah. Di tengah kehancuran, ia masih bisa melihat secercah harapan. Masih ada keyakinan dalam dirinya, meskipun segalanya tampak hilang. “Tapi apa yang bisa kita lakukan, Pemimpi Besar? Dunia ini sudah tidak ada lagi. Kita tidak bisa mengubah kenyataan.”