NEGARA SEMBILAN

Arif Budiman
Chapter #7

Bukti Cinta #7

MALAM di pinggir pantai “Anak Segara”. Suasana terlihat tenang, hanya ombak kecil di kejauhan yang menghempas, suara mendesah sesaat kemudian menghilang. Lampu malam di perahu-perahu yang berlayar di sepanjang pantai “Anak Segara” kulihat temaram. Malam itu adalah malam terakhir kita.

Sang bulan enggan bersinar. Seolah ingin mengukuhkan Lembah Maribaya benar penuh misteri.Tempat berjuta jiwa mengurai cerita, tempat ratusan manusia mengakhiri hidupnya. Sama sekali aku tak pernah mau mendengar kisah orang-orang yang ada di dalamnya. Dan nyatanya dipaksa untuk tahu sebab disana ada kawanku sendiri.

Aku masih belum percaya jika tempat ini adalah tempat Eksekusi bukan hanya para teroris yang ramai di media itu, tapi juga temanku sendiri, Teguh?

Duhai Kekasihku, Ingatkah kenangan di tempat ini. Apakah keadaanmu disana Aman-aman saja. Kuharap tak ada lagi penyiksaan yang kau alami. Kuharap tak ada lagi batinmu yang terluka. Duhai Kekasihku, kenanglah tempat ini. Dihadapan angkuhnya Pulau Apung, yang seolah tak sudi mengenalku. Diam membisu berjuta bahasa.

Kuhapus air matamu, air yang mengkristal sebagai hasil kerja organ mata. Air itu menjelaskan rasamu dengan sangat bagus. Kucoba kuatkan hatimu yang mudah rapuh. Kita saling terdiam. Kita tak bicara, kita saling diam bagai bongkah-bongkah batu pemecah gelombang di Teluk Selatan. Saat hempasan dating, dan ombak menerjang tak mampu sedikitpun menggoyahkan prinsip dan keyakinan kita.

Malam itu, aku pamit akan merantau ke Ibu Kota. Aku harus pergi. Walau ini berat. Walau sejatinya, aku bisa saja berdiam disini bersamamu.

“Dina, Cinta tidak cukup baiat (Janji Setia). Cinta membutuhkan jalan (baca: Pembuktian). Cinta adalah jalan panjang yang penuh rintangan. Cinta adalah jiwa yang mengembara menggapai kesempurnaan.Karena itu aku ke Ibu Kota, mengejar cita dunia untuk Proyek Cinta Sejati kita.”

Bagi Jalaludin Rumi perjalanan menggapai dunia adalah hak lahir yang semestinya didapat oleh Jiwa yang mewujud atau mengaktual dalam aktivitas raga.

“Dan untuk tujuan itu pula Kau harus ikhlas. Meski berat, tapi itulah performa Jiwa! Kepergianku mungkin akan panjang. Ini keterpisahan.”

Dan setelah ini, setelah tugas-tugas Fisik di dunia ini selesai, setelah kerja material di dunia ini selesai, kita akan kembali bersama. Berkumpul di tempat awal kita pernah bersama. Bersatu dalam keabadian Cinta. Dina, aku tinggalkan untukmu, Cincin Perak ini, tanda bahwa aku tak akan pergi darimu. Tanda bahwa aku selalu ada untukmu. Tanda bahwa aku ingin selalu ada untukmu. Tanda bahwa Sebuah kehadiran ingin kuciptakan. Walau itu tak mewakili secara keseluruhan. Setidaknya ada Benda Fisik yang bisa kau ajak berbicara.

Terimalah Cincin ini. Mengapa Engkau malah makin menangis dan titik air mata. Cincin dan Airmata. Aku tau Cincin ini tak bisa menggantikan kehadiranku. Ia hanya bagian kecil dari diriku. Tapi percayalah saat kau mengenakannya, sesungguhnya ia sedang mendengarkan semua yang kau rasa.

 Di tepi Pantai “Anak Segara'' ini aku bicara denganmu. Hempas Ombaknya bawa kesyahduan. Sungguh sangat berat untuk meninggalkanmu. Sungguh berat langkah ini tanpa dirimu. Kulihat Ia terus titikkan air mata. Bahkan deras air mata itu, tak sanggup kau tahan, dan warna beningnya diterpa cahaya. Menetes, di atas Lantai Depan Rumahmu malam itu. Aku sangat mengingat Tetes itu jatuh menetes ke Bumi. Air mata yang sulit dilupa. Air mata keikhlasan. Air mata dari semesta jiwa. Penampilan fisik adalah gambar yang sesungguhnya tentang apa yang ada dalam Jiwa. Maka Seseorang itu berbohong atau tidak dapatlah dibaca. 

Jiwa akan bicara yang sebenarnya. Air mata akan menitik saat di dalam jiwa ini terkandung situasi (potensi)untuk menitikkan air mata. Jika jiwa sedih (lemah), maka fisiknya (dari matanya) akan keluar air mata sebab memang itulah hukumnya. Potensi Kesedihan bagiku adalah hasil kerja Jiwa yang mengaktualkan dirinya dalam tampilan fisik.

Maka Jika saat itu aku melihatmu menangis! Itu artinya Jiwamu sedihkan sesuatu. 

Kau langsung Jawab dan katakan kalimat tegas.

“Biarkan aku menangis!Ia menahan ayun tanganku yang bergerak ingin menghapus linangan di mata yang indah milikmu itu, Saat itu kembali Kau Katakan.

***********************************************

“Perlukah perjalanan panjangmu itu?

Tidakkah diriku cukup untuk menjadikanmu berhenti.

Tidakkah Diriku adalah Cinta Awal dan terakhirmu?

Itu pernah kau katakan?”

Lihat selengkapnya