DUHAI Wanita Ideologis Kekasihku, Inilah kisah Awalku di Ibu Kota. Bagaimana kabarmu disana, kuyakin dan kuharap Engkau bahagia, walau pun kini engkau sedang berbelanja yang artinya hari-harimu bergelimang harta. Kutahu itu tak sesuai dengan apa yang kau pendam dalam Jiwa. Engkau masih terluka. Bersabarlah duhai kekasihku
Aku sedang merasakan bahwa kau menderita disana. Bersabarlah, jangan menangis. Kau boleh lanjutkan membaca tulisanku ini, mudah-mudahan menghiburmu. Inilah isi jiwaku. Aku yang selalu memikirkanmu. Engkau tak sendiri, akupun pernah tersiksa dan penuh derita di Jakarta. Inilah kisahku saat pertama menginjak tanah Ibu Kota!” Di Wilayah Bintara, Aku tinggal di Kontrakan Bude.”
Kuingin Engkau tahu kisahku yang sesungguhnya. Inilah pengembaraan Jiwaku yang pertama.
Kuingin merekonstruksi ingatanku di Ibu Kota. Tidak semua yang kulakukan di Ibu Kota tertulis dalam buku harianku (Buku Agenda Bapakku). Catatan di Buku harian itu tidak semua menjelaskan detailnya. Mudah-mudahan tulisan ini berguna. Setidaknya catatan ini jadi pengingat Jiwa tentang proses “Spiritual yang tidak mudah”.
Novel ini adalah rekonstruksi utuh dari proses perjalanan Jiwa itu. Aku akan sangat bersyukur jika Novel ini bermanfaat untuk orang lain (diterbitkan). Bersama teknologi Laptop ini, aku sedang menyusun kembali tulisan dalam Novel ini.
Sahabat, Bersama Laptopini dan sibuk menulis, memang membuatku terlihat lebih banyak menyendiri. Aku tahu aku hanya asyik dengan duniaku sendiri. Sahabat, aku sedang mengabadikan kisah spiritualitas kita. Aku sedang menulis Esensi Peribadatan kita. Tepatnya menuliskan nasib shalatku yang hari ini berantakan.
Maafkan aku kawan-kawan. Aku tak bisa sering bersama kalian dalam ruang guru. Aku ingin menyelesaikan tulisan ini. Tapi aku masih bisa kumpul bersama kalian saat main futsal maupun pertemuan rutin para Dewan Guru. Dan di saat itu, aku akan mengajak kalian semua bercanda semua sebagaimana kebiasaan bercanda dan bebas tertawa.
Aku harap kisah dan cerita ini bermanfaat untuk semua. Minimal buat diriku sendiri. Aku ingin jadikan catatan ini sebagai bukti amal ku di dunia. Amal Pemikiran. Aku ingin mendiskusikan kembali soal Sholat Kita. Shalat yang kini banyak diabaikan. Terutama shalatku sendiri yang asal-asalan oleh Ideologi Negara Sembilan. Artinya Shalat belum wajib. Atau Shalat tidak harus ritual seperti yang memahami Shalat cukup dengan pengertian Eling atau “Ingat Semata”. Tak perlu harus wudhu, harus Ruku’ dan ritual lainnya. Ada yang mengatakan shalat itu ya nanti kalau sudah kaya, alias tidak sibuk cari uang makan.
Aku berharap tulisan ini dapat membangun Kualitas Ibadahku. Aku yang selalu rindu nuansa spiritual. Agar aku dapat kembali beribadah sebagaimana dahulu, Ibadah Suci. Ibadah spiritual. Bukan Ibadah Ritual. Tapi Ibadah Transcendental. Ibadah yang penuh makna.
Ruang tamu kontrakan Bude, difungsikan sebagai warung nasi. Malam harinya, ruang itu berubah menjadi ruang tidur. Hari pertama di kontrakan, aku tidur di ruang depan yang sempit itu. Dan begitu seterusnya untuk jangka waktu kurang lebih satu bulan sebab setelahnya aku ingin mandiri.
Dari tempat ini, aku mulai mengenal Negara Sembilan (N-9). Dari sini aku memulai pengembaraan Ideologis di dunia pergerakan. Pengembaraan Ideologis adalah proses bergeraknya Jiwa menapaki jalan-jalan Menuju Tuhan. Ia adalah Jiwa yang mengaktual. Ia proses yang tak terelakkan. Aku mulai berkenalan dengan Ideologi Negara, sesuatu yang kontradiktif dengan Jiwaku. Namun sejatinya Jiwa memang memerlukan aktualisasi, maka proses aktual itu pasti terjadi. Meski aktualisasi ini sangat keras. Pengembaraan Ideologi adalah bersentuhan dengan tema-tema pergerakan dan Negara Sembilan (N-9). Dalam terminology ilmu politik, Ideologi adalah cara pandang seseorang terhadap realitas politik sebagai acuan bersikap dan berperilaku. Soekarno pernah membuat cara pandang politik dengan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) Sehingga realitas Indonesialah yang akan menjadi setting kuat pengembaraan Ideologis ini.
Jarum Jam dinding di atas pintu Kontrakan Bude sudah menunjuk pada angka 23.00.
Saatnya aku tulis suratmu. Aku sedang sangat merinduimu. Beberapa lembar kertas folio dan pulpen telah kusiapkan. Tak sabar ingin segera kugerakan tinta itu di lembar kertas Folio.
Surat untuk wanita dambaan nun jauh disana. Surat tentang aku yang belum Ikhlas dengan kerja ini.Jadi “Tukang Sapu”. Itulah nasib yang harus kuterima. Aku pernah berontak atau konflik batin karena jauh-jauh ke Ibu Kota Cuma bisa jadi tukang sapu. Namun pada akhirnya aku harus jalani pekerjaan itu, untuk batu loncatan ke pekerjaan lain. Aku seorang tukang sapu jalan Tol Cakung Cikunir, setahun lebih aku ada disana.
Tugasku menyapu jalan tol Cakung-Cikunir, menyingkirkan sampah dan kerikil-kerikil di pinggir-pinggir jalan. Jika kalian pernah liat tukang Sapu di Jalan Tol, aku pernah cukup lama bekerja seperti itu. Sungguh ini adalah pekerjaan yang sangat berat. Orang-orang tentu akan menganggapku sangat bodoh,
“Kok mau jadi Tukang Sapu di Jalan Tol?”.
Cerita lucu pun tercipta saat mobil jemputan belum datang. Saat perut sudah terasa sangat keroncongan. Di kantong ini tak ada uang, alias tongpes atau kantong kempes. Aku masih diatas aspal jalan toll menunggu jemputan. Kalo sudah sesiang itu (zuhur) belum ada jemputan mandor, biasanya sang mandor ketiduran atau sedang membeli bahan-bahan perawatan Taman alias tak menjemput. Kutatapi permukaan aspal jalan Tol, berharap menemukan uang recehan. Uang yang sengaja dilemparkan abang supir kontainer untuk buang sial. Atau memang uang yang tak sengaja jatuh di sepanjang jalan Tol ini.
Di bawah sinar matahari yang terik. Perut ini terasa keroncongan, tubuhku bergetar karena pagi tak sarapan. Saat itu aku sedang benar-benar tak ada uang.Kurogoh saku baju dan celana. Tak sehelai atau sekeping uang pun ada di disana. Aku seperti anak terlantar yang kelaparan. Jemputan tak dating, itu artinya tak bisa hutang di warung makan yang biasa jadi langganan.
Aku terus berjalan menuju arah pulang. Mataku terfokus menyorot setiap centi di jalan aspal. Mengharap ada uang recehan. Uang recehan yang dilempar supir atau sang kernet Kontainer. Kata orang mengapa supir melakukan itu, jawabnya untuk buang sial. Bagiku itu lumayan lah. Sebab dengan uang recehan itu aku bisa beli segelas es tawar dan 2 buah gorengan.
Seringkali menangis, Ingat Pada Mama yang ada di Kampung. Menyesali nasib yang sulit kumengerti. Siang di Kampung biasanya aku adzan dhuhur dan mengaji Kitab Kuning bersama Kh A. Haiti. Tapi siang itu, berbasah-basahan dengan Wearpack Warna Orange yang Kotor. Badan bau oleh keringat. Saat itu aku masih sangat rajin Shalat. Anti bagiku meninggalkan Shalat. Saat aku tak ada Jemputan, aku istirahat di pinggir Tol dan sengaja aku meminjam Sarung pada seorang Ibu Muda orang Madura yang cantik dan baik.
Sesudahnya mataku telah berlinang air mata karena ingat dengan Mama di Kampung sana. Tentu ia tak kan rela melihatku seperti ini. Berpanas-panasan dibawah terik mentari. Menggunakan Wearpack dan berkawan debu dan asap kendaraan.
Aku akan ingat semua pengalaman ini. Ambisi belajarku yang Maha Tinggi, untuk sementara waktu, biarlah tergantung di langit harapan.
Aku punya cara sendiri agar tetap dan selalu belajar. Kerja jadi Tukang Sapu bukan berarti harus berhenti belajar kan? Aku akan terus belajar. Membekali diri dengan ilmu pengetahuan. Dengan begitulah cara yang akan menopang jiwa dan tubuh ini kuat pada tantangan.
“Aku juga akan tetap kuliah!” Tekadku sangat kuat. Jika tak bias kuliah tahun ini, ya tahun depan.
Saat istirahat, di bawah jembatan Tol, dan di bawah pohon asem yang rindang, kumanfaatkan waktu, untuk belajar. Inilah Sekolahku. Inilah pendidikan ku. Jalan Tol ini adalah Universitas Sementara buatku, Ia adalah Universitas Jiwa. Dan di setiap waktu aku manfaatkan untuk belajar aneka Ilmu. Terkadang aku berbicara sendiri, layaknya pengamat politik buat analisa. Atau menjadi reporter layaknya penyiar di TV saat siaran situasi Jalan. Sambil bekerja sebagai tukang sapu, aku belajar bersama alam. Alam adalah guru. Alam juga pembimbing spiritual. Alam juga Ayat-Ayat Tuhan yang perlu kita kaji. Asal kita kreatif, sesuatu yang dinilai tak berguna menjadi sangat berguna.Aku belajar bahasa Inggris dari plastic bekas bungkusan mie. Aku membaca ingredient dalam satu product Mie. Saat itu aku baca Tepung bahasa inggrisnya flavor, Mie bahasa inggrisnya Noodle dan lain sebagainya. Sesekali menyesali pemimpin Negara yang hanya pandai berkata-kata. Dan merindui pemimpin di Negara Ideal yang cerdas dan berwibawa.
Aku tidak akan menyerah untuk melanjutkan belajar atau kuliah. Selama niat kuliah belum terwujud, selama itu jiwa ini tidak akan tenang. Selama tujuan sejati hidup manusia belum tercapai, selama itu pula manusia akan terus mengejarnya, itulah esensi pergerakan Jiwa. Selama tujuan utama belum tercapai, selama itu pula pengembaraan intelektual adalah realitas tak terelakan.
Jiwaku akan terus mengembara. Menuju tempat dimana Jiwa berlabuh di pemberhentian abadinya.
“Syukur pada Tuhan atas nikmat ini. Apapun pekerjaan yang kudapat kini, aku terima pekerjaan ini sebagai suatu anugrah.”
Apalagi saat itu sedang ramainya-ramainya Pabrik mem-PHK karyawannya. Terima kasih ya Allah atas semua nikmat-Mu. Kucoba terus bersyukur.Aku masih shalat dengan Rajin, tak pernah mau meninggalkan Shalat. Dan ibadah lain selain shalat, aku ingin selalu ikuti. Setelah Shalat aku berzikir dan berdoa.
Rabbana aatina fiddunya hasanah, wafil akhiroti khasanah, waqina adzabannar” Kubaca doa tolak bala. Ya Allah, berilah aku kebaikan di dunia dan di akhirat, dan jauhkanlah dariapi neraka.