NEGARA SEMBILAN

Arif Budiman
Chapter #12

Shalat Yang Hilang 1 #12

DUHAI Wanita Ideologis Kekasihku. Duhai pemilik mata Hijau. Janganlah bersedih. Saat ini tenangkanlah Jiwamu. Bebaskan dirimu dari tekanan itu. Cobalah keluar dan hiruplah udara segarmu. Nikmati setiap kata tawaran dan ajakan kebaikan yang terhembus dari Novel ini. Bacalah dan Nikmatilah. Yakinilah bahwa ini fakta yang sebenarnya. Minimal fakta ini ada di dalam alam pemikiran kita.

Aku mau lanjutkan ceritaku saat aku harus tinggal di “kontrakan Ideologi”. Aku telah sampai pada masa dimana aku tak bisa berlama-lama di Negara Sembilan.

Aku tinggal di kontrakan, tempat yang sangat sederhana.

Lampu ruang utama Mess pekerja toll ini pun telah menjadi redup berharap dapat menyala terang. Walau kenyataanya lampu Mess ini lebih memilih slogannya “hidup segan mati tak mau” alias tier-tier. Aku buka-buka catatan lamaku. Aku akan terus menulis kisah ini. Sepi Kampung Bintara pinggir Tol Cakung-Cikunir adalah kawan baruku.

Deru Kontainer-kontainer besar di tol Cakung-Cikunir dating bergantian. Otakku diajak berpikir sangat radikal. Fakta-fakta tentang akan datangnya Negara Surga kurasai sangat mengagetkan. Aku dipaksa menerima itu sebagai suatu kebenaran.

Baru beberapa bulan di Ibu Kota ini (Kampung Bintara Bekasi), kutemui beberapa fenomena yang sangat menyesak dada. 

Pertama tentang Seks Bebas di sini, di Mess yang kami tempati ini adalah suatu hal yang biasa. Amru, anak pulau seberang mengaku biasa melakukan seks itu di Mess karyawan yang kami tempati. Bahkan ia mengaku melakukannya beramai-ramai bersama karyawan lain yang masih satu daerah.

Sungguh terdengar sangat menjijikan. Atau Puji, adik Amru yang biasa menuruti nafsu bejatnya di teras Patung Burung Elang Bintara bersama pembantu kompleks yang nakal.  Sementara Natsir lebih suka ngembat ayam tetangga. Ia melakukannya tanpa rasa berdosa. Atau Marwan yang suka memotong kabel listrik tol Lingkar Timur. Hal terakhir ini ia lakukan karena judi malamnya kalah. Bahkan uang gajiannya telah menjadi ludes. Untuk menutupi hutang-hutangnya, segala hal dan cara dilakukan.

Kedua, Nggak Shalat itu biasa, Meninggalkan Shalat. Bagiku ini tidak biasa. Di kampungku semua shalat, atau umumnya Shalat. Apakah aku salah menilai hal ini. Apa karena aku yang terlampau polos, tidak gaul, sehingga aku saja yang baru tahu bahwa tidak shalat itu hal  yang biasa? Sepertinya begitu. Yang pasti, aku menemukan banyak kontradiksi. Soal shalat yang nggak wajib ini?

Apa salah ajaran guru ngaji saat mengatakan Shalat itu hukumnya wajib. Sementara karyawan Tol ini tak ada satupun yang shalat. Suatu hari saat Shalat Jumat, saat aku tergopoh-gopoh mengejar waktu jumat. Saat itu aku masih mengenakan wearpack warna orange khas tukang sapu. Aku tetap shalat. Tapi saat itu tak ada satupun teman karyawan yang shalat. Termasuk mandor dan penjaga pintu Tol itu. Jamaah jumat pun heran melihatku yang berkeringat dengan baju tukang Sapu itu datang ke Masjid?

Dulu aku sangat takut tinggalkan Shalat itu! Kini aku sebaliknya, aku  banyak tinggal Shalat. Jika ditanya orang apa Sudah shalat, jawabku Sudah! Padahal belum. Luar biasa aku ternyata aku sudah jadi pembohong. Aku yang jujur dimana? Ini luar biasa. Negara Sembilan telah mengubahku. Tidak jujur alias bohong itu sah dan boleh di Negara Sembilan.

“Salahkah gelisahku ini!”

Ketiga yang paling menegangkan adalah saat menemukan fenomena ngaji yang sangat aneh.  Ngaji yang tak biasa. Belum tuntas atau hilang gelisah, datang seorang mengajakku “ngaji”. Harapanku dengan ngaji ini dapat menghilangkan gelisah, tapi yang terjadi sebaliknya, sebab ngaji ini bukan ngaji biasa. 

“Alhamdulillah, Pucuk Dicinta Ulampun Tiba.” Artinya Kegiatan Ngaji itu datang sendirinya tanpa harus mencari. Ajakan ini sesuai harapanku. Sebab lama aku nyari pengajian. Aku rindui suasana ngaji seperi dulu. Akankah aku mendapatkannya. Dari gang ke gang di wilayah Bintara kucari jenis-jenis pengajian disana. Suara Barzanji dari speaker majelis Talim di tiap pagi menjadikanku rindu Pesantren Al-Huda. Suara itu juga mengingatkanku pada kajian kitab kuning yang kaya. Jiwaku masih disana. Jiwa ini masih dilekati kajian-kajiannya. Jiwa ini  mendapati nutrisi bagi Jiwa.

Saat ditanya aku pengikut NU apa Muhammadiyah? Aku tak terlalu mempersoalkannya. Aku dibesarkan dalam dua tradisi berbeda itu, Islam Kultural (baca: NU) saat ngaji dengan Mbah Kyai di Pesantren Al-Huda Kampung Nelayan atau Islam Modern (baca: Muhammadiyah) karena bapakku seorang Muhammadiyah tepatnya semasa SMA ia sekolah di sekolah Muhammadiyah.

Saat sedang nyari-nyari kegiatan Spiritual itu, datanglah Mas Sisno dalam kehidupanku. Ia mengajakku Ngaji. Seperti bunyi pepatah lama, pucuk dicinta ulampun tiba.

“Alhamdulilah puji syukur sebab apa yang kucari ternyata datang sendiri. Ngaji apa Mas? Mas Sisno menjawab ya Ngaji biasa, ada tajwid, baca quran. Awalnya aku juga sempat berpikir ni orang ngajak ngaji kok tampangnya seperti ini kaya ngga pernah kena air wudhu. Maksudnya tidak ada bekas di wajahnya kalau ia biasa ngaji. Pakaiannya kucel. Sebab setahuku “murobbi” pergerakan saat di Kampung Nelayan sangat bersih dan rapi. Terlebih ditambah ciri jenggot panjang, menjadikannya terlihat sangat suci, menjaga ibadah. Tapi yang kutemui ini tidak. Boro-boro mengenakan baju koko. Bagiku ia justru lebih mirip tukang Ojek yang cuek pada kumandang adzan?

Dan terhadapnya, aku mengabaikannya.

“Saya tidak tahu tempatnya Mas!” Jawabku enggan.

“Nanti saya jemput di Stasiun Cakung! Lanjutan pernyataannya di akhir pembicaraan.

“Oh Gitu.Ya Udah! Aku mengiyakan saja. Saat itu aku berpikir sangat positif, aku pikir Ngaji biasa?”.

Hari berikutnya, minggu jam 08.00. aku sampai di Stasiun cakung. Aku berpikir paling dia terlambat atau belum datang. Rupanya Mas Sisno sudah menunggu lebih awal sebelum aku datang. Aku tak tahu jika ia adalah pejabat Negara Sembilan (N-9), ya setingkat Camat. Aku  ke arah barat stasiun Cakung yang banyak terdapat pemukiman penduduk dan juga kontrakan. Sebelum sampai ke kontrakan, aku bertanya lagi sekedar memastikan. “Sebenarnya Kita Mau Ngaji Apa To Mas! Aku menganggap jenis pengajian itu berbentuk kajian Tajwid, atau sejenis  kajian kitab kuning sebagaimana di Pesantren Al-Huda. Dan ternyata aku salah!

Aku  kaget dengan bentuk pengajian Sisno ini. Aku diajak ke dalam kontrakannya. Hanya aku sendiri yang jadi peserta ngajinya. Di dalam, ada teman Mas Sisno yang sangat melayani dari menyiapkan spidol hingga menyediakan minuman di pengajian atau pertemuan itu. Fenomena yang sama saat di SMA. Sebelum masuk dalam kontrakan aku diminta membawa sandal yang kukenakan ke dalam. Alasannya biar tidak dimaling.Aku merasa ada yang aneh.

“Kok dibawa masuk Mas?”

“Supaya  tidak dimaling!” Jawab Mas Sisno singkat. Masuk akal dan tak membuatku curiga. Walau masih ada mengganjal. 

Aku sengaja membiarkan kebingungan ini. Tapi aku ingin tahu pengajian apa ini. 

Begitu masuk ke ruang kontrakan, aku mulai membaca jenis kajian yang kuikuti ini. Kajian Jenis ini pernah aku alami saat ngaji bareng Pak Mahdi. Aku menemukan kesamaan pengajian di Cakung ini dengan pengajian kala di Kampung Nelayan itu. Secara fisik memiliki kesamaan fisik seperti ada whiteboard yang dipakai oleh pemateri untuk menuliskan materinya beserta spidol dan Quran terjemah. Ini sama persis dengan pengajian dulu bersama Hartono saat di Kampung Nelayan.

Saat di dalam kontrakan, aku disodori materi keislaman, Hingga pada sejumlah pertanyaan aneh yang ngga ada kaitan. Pertanyaan pertama Sisno soal apakah aku punya saudara militer atau tidak. Bagiku tidak ada kaitan dengan tema diskusi. Pertanyaan itu aku jawab dengan mengatakan tidak. Sepertinya kurang yakin Ia tanya lagi. Mas Tirta beneran nggak punya saudara militer? Iya saya ngga punya saudara militer atau polisi! Saat itu aku belum tahu apa arti pertanyaan itu. Aku belum tahu bahwa pertanyaan itu berkaitan dengan keamanan dan sepak terjang mereka sendiri.

Saat aku mulai dalam Doktrin ini, Aku mulai dicecar dengan ayat-ayat Negara Sembilan.


Duhai Kekasihku, Aku tahu engkau di Kampung sana tak tersentuh oleh Ideologi dan Doktrin ini. Di kampong sana, Engkau tentu masih gadis Polos dan Belum mengenakan Baju Rapat yang menutupi seluruh tubuhmu. Karena Engkau masih wanita Nasionalis sebagaimana Ayahmu dan juga Ibumu yang cenderung Kejawen.

Lihat selengkapnya