Angin sore membelai pucuk-pucuk pinus di sepanjang perbukitan Sempor. Sejuknya membuktikan waduk ini sangat kaya dengan oksigen. Air permukaan waduk, kurasakan sangat tenang. Setenang jiwa para penghuninya yang cintai ketenangan dan kedamaian. Kecuali, makhluk supranatural yang satu ini, makhluk yang masih haus kekuasaan. Sudah menjadi tabiat makhluk tuhan yang hidup dalam dunia metafisika, mereka berebut pengaruh.
Tapi biarkan saja siang ini menjadi milik manusia yang dimabuk cinta.
Bermain dan atau berwisata di waduk Sempor merupakan hal yang lazim dilakukan anak-anak remaja seusai pulang sekolah. Dengan sepeda motor legenda pemberian Romo, beliau menggunakan motor inventaris di Pemda kabupaten Kebumen (sekarang dikenal dengan ASN). Motor itu selalu kubawa berangkat ke sekolah. Motor itu sangat membantu dalam proses b elajar di SMA DePotter. Terlebih jarak antara sekolah dan rumah yang sangat jauh. Kurang lebih 40 km dari kota Gombong. Tepatnya di Pantai Menganti.
“Kenapa kau selalu bengong di kelas?” Itu pertanyaan yang ia ajukan saat kami baru saja duduk menikmati sejuknya waduk Sempor. Aku tidak mau jujur tentang perkelahian dengan Orang-orang Utara.
“Bengong?!”
“Enggak!” Langsung ku bantah pernyataannya.
“Aku nggak bengong!” Jawabku, selengkapnya alas an aku bengong, tentu dia tak akan mengetahuinya. Sebab aku punya dunia sendiri. Di dekatku bukan semata aku, tapi ada yang menemani. Kemanapun aku pergi selalu ada yang menyertai, entah apa dan bagaimana sosok itu, aku tak pernah melihatnya. Aku belum memanfaatkannya. Aku tak pernah menggunakannya. Aku masih awam. Tapi itu dunia lain.
“Tuh kan bengong!”
“Nggak!” aku membantahnya.
“Itu Apaan!” jari telunjuknya terarah padaku.
“Tuh tuh, sedang bengong!” tuduhnya.
“Nggak!” bantahku dengan argumen. Dan lagi ia menyarangkan penegasan padaku.
“Itu lagi bengong!” matanya tertuju padaku seperti sedang menunjukkan bukti.
“Orang bengong, nggak ngaku dih!?” sergahnya.
Aku memang tidak mengakui bahwa aku bengong. Aku sengaja menutupi. Sebab sebenarnya memang aku sedang memikirkan hal lain. Tapi separoh sikap ini terlihat aku bengong.
“Sekarang aku udah ngga bengong lagi!” Kataku meyakinkannya, sembari memeranjatkan diri berusaha untuk fokus. Aku meyakinkan bahwa aku tak bengong, kutatap matanya dengan melebarkan mata ini hingga bulat sebulat-bulatnya, bahkan sampai melotot.
“Nich!” Ia balas menatapku tajam. Mata kami beradu saling berhadapan. Seperti biasa yang pernah kami lakukan, sikap saling bertatapan.
Deret pohon pinus sore itu kulihat cantik menawan. Hijaunya senandungkan sejuk dan keindahan. Tempatnya sejuk. Di tempat ini aku bertahtakan mahkota kesejukan. Ingin suatu hari, aku tinggal disini, kalo bisa di dalam salah satu gedung atau bangunan Waduk yang diresmikan negara ini, dalam hatiku terbetik niat ini.
Meski aturan kedua trah ini menyepakati bahwa wilayah ini (waduk Sempor) sebagai wilayah bersama yang mengandung arti kedua pihak baik orang utara dan Selatan boleh melakukan kegiatan di tempat ini, sebagai wilayah bersama, kecuali tempat tinggal. Kenyataannya orang utara lebih banyak beraktifitas disini. Teman sekalian batas wilayah ini adalah batas supranatural bukan batas teritori.
“Ughh Dasar!” tukasnya. Ia juga ikut melihat suasana yang ada di sekitar Waduk Sempor. Ia sangat memperhatikanku. Ia tahu aku sedang memikirkan suatu kejadian. Tapi ia berusaha menahan. Sebab yang ditanya seperti ogah ditanya. Yang pasti sesudahnya, di kebersamaan itu, rupa-rupanya ia memulai bicara dengan mengajakku berbicara soal pelajaran sekolah.
“Tadi kamu ngomong apa?” Ia memulai membuka pembicaraan dengan memintaku mengulang pembicaraan sebelumnya. Sontak, kaget, alias tak langsung paham, apa yang dimaksudnya. Rupanya terekam pertanyaanku saat di jalan tentang tugas sekolah, tapi ia tak terlalu mendengarnya.
“Ngomong Apa!?” tanyaku dengan cuek.
“Ngomong tadi, aku lupa, ngomong apa?”
“Tadi pas di jalan.” jawabnya singkat dengan sedikit kesal karena aku pura-pura lupa. Lalu ku kernyitkan dahi mulai berpikir dan mulai paham apa maksudnya.
“Ohhh, Itu!”
“Iya. tadi aku nggak nyatet! Jadi, aku mau pinjem buku kamu”
“Cantik-cantik kok ngga nyatet!” Sambil ku alihkan pandangan mataku ini ke depan, tanpa melihatnya. Hal ini membuatnya merasa diremehkan. Aku sengaja tak melihatnya. Prank jual mahal. Sambil mulut ini kumanyunkan. Aku justru tunjukkan padanya ekspresi kecewa, walau ekspresi sejatinya hanya bercanda.
“Mana ada cewe malas! Dalam tradisi leluhur tanah Jawa, cewek gak boleh males, cewe harus rapi. Cewe juga harus resikan!
“Mestinya aku yang ngga nyatet!” Sontak kata-kataku ini membuatnya kesal. Dan ia tunjukan sikap protektifnya dengan memberi jawaban.
“Maksudnya, dalam tradisi jawa, anak cowo itu boleh males gitu?”
“Ya bukan begitu, justru sebaliknya, laki-laki harus jadi kesatria, tatag, tangguh tanggon. malas jelas tidak ada dalam kamus tradisi Jawa” jawabku mengklarifikasi, dengan gaya sok menggurui.
“Heh!” dari mulutku keluar kata ini. memperkuat prank sombongku.