NEGARA SEMBILAN

Arif Budiman
Chapter #19

Baeat Yang Kedua #19

INILAH bukti betapa ambisi mendirikan negara atau ambisi apapun tak bisa menyimpang  dari Jiwa. Apa yang menimpa adalah pembuktian gerak jiwa. Jiwa akan selalu bergerak sebagaimana ia adanya. Ia seperti air yang mengalir. Ia seperti bara yang akan membakar. Ia seperti angin yang menyejukan. Barang siapa menentang gerak Jiwa sama saja, ia sedang menentang dirinya sendiri.

Setelah pertemuan dengan Pak Mahdi di Kampung Nelayan itu, aku ikut pengajian Pak Mahdi di Ibu Kota (Pulogadung). Saat itu aku masih bekerja sebagai “Tukang Sapu”.  Aku tak lagi di Negara Sembilan (N-9). Aku pindah ke ajakan pengajian Pak Mahdi. Pengajian kebersamaan, Di pengajian ini tidak melawan syariah. Ia mengajarkan Shalat. Namun kenyataannya sama saja. Di pengajian ini tak ada bedanya dengan Negara Sembilan.

Sebelum lebih jauh cerita Negara Delapan, aku mau cerita sedikit tentang Kakakku. 

Tahun 1998 Pasca kerusuhan itu, aku sangat mengkhawatirkan kondisi Kakakku yang ikut ke Ibu Kota. Trauma kerusuhan masih terputar di memori ini. Bahkan Masih kurasakan kebakaran Mall Jogja. Masih kuingat mayat menggeletak di bawah tol Bintara pasca kerusuhan. Masih teringat aksi penjarahan di ruko-ruko yang ketika itu ramai oleh tulisan Pribumi dan Non Pribumi.

Mba Inayah  mendapatkan kerja  konveksi di Senen. Nampaknya ia sangat menikmati pekerjaan itu. Sejak awal aku tidak setuju Mbak Inayah di Ibu Kota. Tapi tekadnya terlampau kuat, apalagi Mba Ici, saudara sepupu mengajaknya. Mereka sejak kecil memang selalu bersama. Ia bekerja di Pabrik Tissue Pulo Kambing.

Beberapa hari setelah kerusuhan Mei ’98, aku sangat mengkhawatirkannya. Suasana Jakarta masih sangat mencekam. Aku takut terjadi apa-apa dengannya. Situasi Ibu Kota sedang tidak kondusif. Itulah sebabnya suatu sore pernah kutunggu Mbak Inayah di Ujung Komplek PLN Pulo Kambing. Aku sangat mengkhawatirkannya. Aku mau bicara dengannya. Aku ingin memintanya pulang Ke Jawa

         Aku ingin memastikan kondisinya aman dan baik-baik saja. Kutatapi satu persatu Metromini 47 yang lewat dan berhenti di depanku. Saat Metromini 47 berhenti, tak lama keluar sosok wanita berjilbab rapat, yaitu wanita berjilbab Hitam sebagaimana jilbab yang ia terima saat SMA. Ia termasuk korban kebijakan SMA yang mengharuskan Photo tanpa Jilbab.

         Baru pada zamanku, akhirnya siswi SMA dibolehkan mengenakan Jilbab. Lewat perdebatan keras dengan pihak Sekolah.

         Saat ini Mba Inayah lebih bersikap, tidak ikut kajian Pengajian saat SMA. Sebatas berjilbab hingga saat ini masih bertahan, tak ada muatan Ideologis dalam gaya Jilbabnya. Postur tubuhnya yang kecil, segera dapat kupastikan bahwa yang sedang kucermati sedang turun dari Metromini itu adalah Mbak Inayah. 

Kuyakin yang berjalan turun dari Metro itu Mba Inayah.Air mataku menitik seketika.Luluh lantak rasaku saat menyaksikannya. Bagaimana mungkin Mba Inayah harus menjalani kehidupan seperti ini. Dalam hati karena sejak dari awal aku tidak rela Mba Inayah ke Ibu Kota.Saat ia makin mendekat, ia yang lebih dulu menyapa

”Im! Imam? Tanyanya padaku meyakinkan. Ia heran kenapa aku ada di pinggir Jalan menunggunya pulang. Aku mengusap mata yang berkaca,

Ana Apa?” Sambil menghilangkan air mata, kujawab, ”Ngga. pingin tahu aja pulangnya jam berapa?”

Dalam perjalanan menuju kontrakan Mbak Icih, aku minta Mba Inayah pulang ke Jawa. Aku memohon Mba Inayah tidak perlu lagi bekerja di Ibu Kota tapi ia tak mau. Ia sedang sangat menikmati kerja sebagai Tukang Jahit proyek Senen walau hanya digaji 9 ribu rupiah/ hari. Sama besarnya dengan gajiku sebagai tukang sapu di Tol. Mba Inayah tetap bersikukuh tak mau pulang. Aku hanya berpikir, bagaimana mungkin dia yang termasuk salah satu murid terbaik di SMA, harus bekerja seperti ini?

Bagaimana mungkin, kakakku sendiri, seorang wanita yang punya cita-cita ingin jadi ahli Farmasi, kini hanya menjadi seorang Tukang Jahit di Senin dengan gaji 9.000/hari?

”Aku Ingin Mbak Inayah pulang?”

”Mba Inayah ngga Mau Pulang? Mba sedang sangat enjoy dengan pekerjaan ini?” Jawabnya santai. Mbak Inayah Piye, Jakarta sedang tidak aman. Dimana-mana ada kerusuhan. Aku ingin Mba Inayah pulang saja.

Yang bertanya mestinya aku (Mbak Inayah), Katanya. Bagaimana mungkin adikku yang Juara Satu di Sekolah, tapi kini malah hanya menjadi Tukang Sapu di Jalan Toll? Mba Inayah malah membalik argumen.

”Mba seorang wanita, Mba Ngga perlu sekolah tinggi-tinggi!”

”Kamu yang harus sekolah. Kamu yang harus melanjutkan. Kamu yang harus masuk Kampus Negeri! Saat itu aku jadi berpikir dan menemukan jalan untuk keluar dari pergerakan (Negara Sembilan) ini dengan cara kuliah

Aku tahu kata-kata itu tidak murni darinya. Meski ia wanita. Ia juga ingin kuliah. Aku sudah membaca buku diary nya. Aku tahu ia ingin kuliah. 

Kalau aku sendiri memang sudah mengagendakan untuk kuliah. Aku Harus Masuk Kampus Negeri! Aku bersumpah untuk melanjutkan kuliah.

Sikapku yang meminta Mba Inayah pulang didorong oleh situasi di Ibu Kota yang sedang “Chaos” 1998. Ibu Kota yang sangat rawan. Situasi Negara sedang kacau. Berita-berita kerusuhan bermunculan, menyusul pula kerusuhan dan kekacauan di beberapa tempat lain di tanah Air. Kubaca berita mengerikan di Sampit. Kulihat jelas di Tabloid mingguan, saat kepala orang yang tertancap tombak diarak sepanjang jalan.

Yang kedua adalah pertimbangan ekonomi, aku tak ingin saudaraku hidup susah di Ibu Kota, padahal kehidupan pekerjaanku lebih parah dibandingkan Mba Inayah. Sikap ini mungkin terlalu Egois karena merasa diri paling kuat dan seolah menilai orang lain termasuk saudara sendiri tak akan kuat dengan situasi seperti Ibu Kota ini. Bergaya layaknya orang bijak ”Biarkan cukup aku saja yang Susah, nggak perlu orang lain atau saudaraku sendiri”

                 Baik dalam pekerjaan atau bahkan tantangan Ideologi ini!, aku tak takut. Meski ini  menyita  akan pikiran dan tenaga. 

Aku simpan rapat-rapat kisahku di Negara Sembilan (N-9). Tak ada untungnya juga aku cerita ke mereka. Kecuali ketika menempatkannya sebagai ibrah (Pelajaran). Sama seperti kenapa kita perlu tahu Firaun sebab Firaun ada contoh buruk. Rahwana adalah Simbol buruk dalam wayang, kenapa dalang tahu tentang Rahwana, sebab darinya akan diambil pelajaran. Pelajaran untuk tidak meniru atau mengikuti tokoh-tokoh buruk. Dan yang perlu dicontoh adalah Tokoh-tokoh Satria.

Bagiku Kisah hidup ini adalah Kisah yang bisa diambil Pelajaran. Di dalam hidup kita ada Kisah Tokoh Baik, tapi ada juga yang berperan sebagai Tokoh Jahat. Maka Kisah bersama Negara Sembilan, adalah Pelajaran tentang kehidupan, disana ada pelajaran bagaimana semestinya kita berkeyakinan. Disana juga mengajari kita untuk bersikap dan berperilaku terhadap keyakinan orang lain. Ideologi lain. Dan tidak ada toleransi untuk Ideologi buruk, yaitu Ideologi yang mengajarkan kebencian.

Biarkan Mbah Inayah tak tahu kisah Negara Sembilan. Aku malah ingin ia dengan Islam biasa.Biarkan Mba Inayah ber-Islam biasa. Islam yang menurutku lebih spiritual.Kontak kajian dengan teman-teman rohis saat di SMA terputus. Hasil ikut kajian di SMA, menjadikannya tetap berjilbab. Biarlah jilbab itu saja yang ada di dirinya, tak perlu pemahaman yang lain.  Tak perlu Islam yang sering sulit dipahami itu. Biarlah ia sederhana dalam memahami bagaimana beragama. 

Lihat selengkapnya