NEGARA SEMBILAN

Arif Budiman
Chapter #21

Jiwa Yang Terbina #21

Di pertengahan tahun 1999. Tepatnya bulan September. Aku mulai masuk dunia Kampus. Dan ketika lulus, Insya Allah aku akan mengabdi untuk menjadi guru di SMA. Aku harus menjadi mahasiswa terbaik dengan prestasi yang juga terbaik. 

Ini pengalaman dan sisi lain dari kehidupanku di Ibu Kota. Saat OSPEK hari terakhir, kepalaku masih plontos. Aku bahkan masih sangat terlihat seperti pelajar Sekolah. Di dalam Metromini saat ke kampus Hijau, aku nyaris  kena sabetan clurit salah seorang dari kawanan anak STM. Salah satu dari mereka mengintrogasi dengan gaya barbar.

“Lo anak Boedoet Ya?!” gertaknya. 

Kujawab tidak.  Jangan bohong Lo! Kini aku menggunakan diksi Bukan. Bukan! Untuk mempertegas bahwa aku Bukan anak Boedoet seperti apa yang dia tuduhkan itu. Aku berusaha meyakinkan. Tidak percaya dengan jawabanku, ia mendekatkan cluritnya. Ujung celurit yang tajam itu bermain-main di depan mata ini seolah siap mencongkel bola mata ini. Aku hanya bisa pasrah. Melawan tidak mungkin, bisa-bisa aku tajam cluritnya mengoyak mata ini. Dalam jiwa hanya bertanya-tanya luar biasa hasil pendidikan di Negara ini.

Kejahatan yang nyata seperti ini menjadi pemandangan yang sering terjadi di Ibu Kota ini, Negara tak bisa berbuat apa-apa?  Negara tak hadir disana. Negara Absen. Negara gagal. Sepertinya memang teori Negara Sembilan (N-9) tentang NKRI telah bobrok dan harus diganti dengan Negara baru adalah sebuah kebenaran. Dimana Negara?

“ Ngaku Aja Lo!” Tangan kirinya meremas kerah bajuku. Clurit di tangan kanannya dia acungkan. Orang-orang yang ada di dekatku tak bisa berbuat apa-apa. Mereka semua ketakutan. Mataku berhadapan langsung dengan ujung clurit yang siap mencongkel mata ini. Beruntung, Nasib baik masih menemaniku. Teman-temannya yang di luar Bus Metro memberitahu bahwa aku bukan dari Boedoet! Seketika ia melepas tubuhku dan pergi mengejar kendaraan lain. 

Huft. Selamatlah aku. Tapi jantung ini terlanjur berdetak kencang. 

Ini sungguh zaman Bar-bar! Ya Allah, wahai penguasa Jiwa, segala puji hanya pada-Mu. Hidup dan mati ada di tangan-Mu!”

Kusapu keringat dingin di wajah ini karena ketegangan sesaat tapi menyesak.

Bus Metromini 47 melaju kencang. Astagfirullahal Adziim. Ampunilah hambamu ini ya Allah jika karena dosa ini.

Bertambah lagi pengalamanku di Ibu Kota. Itulah sebabnya, pernah kukatakan Ibu Kota adalah tempat bertemunya semua keinginan.

Ini hari terakhir Ospek, Setelah ini aku resmi menjadi Mahasiswa.

Di acara Pentas Seni itu, kudengar lagu “Menghitung Hari” oleh mahasiswa ekonomi, dia wanita yang cantik dan lembut. Wanita yang  mau mengerti jenis laki-laki sepertiku. Saat aku melihat dan mendengar lagu yang dibawakannya. Aku seolah sedang melihatmu, Dina! Ia mirip sekali denganmu. Aku punya kenangan indah saat Engkau menyanyi dulu di Kampung Nelayan. Aku dulu tak tak tahu secara persis siapa pemilik lagu itu.  Yang kutahu Dina pernah membawakan lagu itu di Benteng.  

Aku tidak bisa menemuinya. Aku tak berguna sebab kudengar kabarnya sedang sangat mesra bersama Miko Widiyatmoko, teman  sekolahnya.Ternyata benar berita yang kudengar tentangnya yang sedang berpacaran dengan Miko. Awalnya aku tak percaya tapi kini aku secara langsung melihatnya. 

Ia pantas bersama lelaki itu. Walau kenyataannya Darahku mendidih melihat kenyataan ini.

Saat Engkau bersama Miko, saat itu serasa Engkau tengah menghabisi hidupku. Kau tikamkan bilah belati ke dadaku. Dan kulihat Miko membantu mencabut pisau itu sambil meringis dan tertawa.

Engkau belum sepenuhnya memahamiku. Engkau belum melihat Ideologi Cinta ini. Engkau belum memahami apa yang sesungguhnya ada di dada ini.  Aku meyakini visi dan pemikiran kita, akan membuat Sahabat Ilahi kita bangga melebihi semua kebanggaan pada apapun dan siapapun.  

SAAT MENDENGAR LANTUNAN LAGU DARI MAHASISWA EKONOMI ITU, AKU TERHENYAK DALAM LAMUNAN BERSAMA DINA LARASATI.

“Dina, Maafkan aku! Aku akan datang menemui-mu dik! Secepatnya. Aku tidak lupa denganmu, Aku justru sedang sangat mengingatimu dan merinduimu”

Penampilannya malam itu menghanyutkan Jiwa. Sebab wanita cantik yang menyanyikan lagu itu sedang berduka. Malam itu aku bukan hanya menyaksikan bagaimana lagu itu dinyanyikan, tapi sesungguhnya malam itu aku sedang menyaksikan diorama “hati yang hampa”. Tatap matanya terlihat kosong. Jiwa seolah terpenjara. Sesaat situasi menjadi sangat tranquil layaknya keheningan saat Bima menemukan “Tirta Pawitra”.

INI YANG KU LAMUNKAN YAITU SAAT MELIHATMU DI PANGGUNG MUSIK DI LAPANGAN KAMPUNG NELAYAN. DEKAT MAKAM SUCI YANG LENGANG. 


****************************************

♫♪ Menghitung hari

       Detik demi Detik

       .


Lihat selengkapnya