DUHAI Kekasihku. Suatu malam di Masjid Kampus Rawamangun. Suasana sangat lengang. Kurasai Simfoni Burung Emprit itu sangat mengganggu Sukma. Suaranya menggema di ruang Masjid yang sepi ini.
Aku terlarut dalam aktivitas dunia kampus yang menyita waktu dan juga Jiwa. Masa-masa perkuliahan adalah saat ideal yang selama ini sangat kurindukan. Bergulat dengan berbagai aktivitas organisasi pergerakan. Meski keikutsertaan ku di Rohis (LDK) Kampus, cenderung aku tinggalkan. Aku justru terlibat di Organisasi Kemahasiswaan yang sangat gemar menggelar Diskusi Filsafat.
Bergumul dengan tugas-tugas dan deretan buku-buku perpustakaan. Di tengah situasi itu, tiba-tiba Ada perasaan rindu mendalam pingin kumpul keluarga. Di sisi yang lain, ada rasa takut yang tiba-tiba menyeruak. Ada rasa rasa ingin bertemu denganmu. Setelah itu, perasaanku mendadak tidak enak. Bacaan shalatku saat memimpin Jamaah Isya salah. Saat itu kuingat pada Budi, anak ekonomi jurusan Ekonomi Koperasi menuntun membenarkan bacaan shalatku. Duhai Kekasihku. Ini momen dan Saat-saat dan momen dimana aku mulai kembali padamu. Dan panggilan pulang ke rumah benar adanya peristiwa yang tak aku inginkan. Aku pulang karena keponakanku yang dipanggil-Nya.
Saat ada telpon yang mengharuskanku kembali. Telepon Asrama berdering, Darwis berteriak memanggil di kejauhan. “Mas Imam, Ada Telpon dari Jawa.” Seketika panggilan ini menjadikanku bertanya tumben, kok ada Telpon dari Jawa, sebab selama aku di Asrama belum pernah ada telpon dari jawa untukku. Perasaan mendadak tidak tenang. dan benar saja terbakar berita yang menyesak dada, kabar yang sangat tiba-tiba.
Im, ini Aku Ishadi? Katanya. Ternyata itu telpon dari Ishadi, kawan kecilku berenang dan memancing di Kampung Nelayan. Saat itu ia bekerja jadi Tukang AC di Bogor. Ku Bilang Tumben Nelpon.
Ada Apa ya? Penasaran Aku bertanya.
Katanya lewat Telpon. Ia mengajakku bicara perlahan. Im, dan terdengar terbata. Pertama Ingin Tahu Kabarmu Piye? Ia kelihatan berbasa-basi. Aku bilang aku Sehat. Lalu diam. Kukatakan padanya Kok diam.
Lalu ia melanjutkan telponnya. Ini Im, Kamu yang Sabar ya? Kata-kata itu sudah nyata mengisyaratkan berita yang tak baik. Sampai kalimat disitu cukup membuatku paham akan adanya ada berita yang tentu saja sangat tak kuharapkan keluar dari mulutnya.
Ada Apa Is, Ayo sampaikan Saja. Aku akan siap mendengar dan aku akan bersabar.
SALMAN TELAH MENINGGAL
Seketika juga aku langsung berucap Innalillahi Wainnailahi Raajiuun.
Kabar ini sangat menghentak dada. Pagi dini hari ia menelponku dan memberiku kabar tentang meninggalnya Salman Al-Farisi, ponakanku yang sangat lucu. Saat itu alat komunikasi dengan HP masih jarang. Ishadi menelponku menggunakan Telepon Asrama Mahasiswa.
Ini sebuah berita yang sangat mengagetkan. Kami pulang berlinang air mata. Bersama Purwoko, adiku. Kami naik kereta Sawunggalih. Mba Hani dan Mba Nurul ikut dalam perjalanan pulang itu.Mereka sudah menunggu di stasiun Jatinegara. Sepanjang perjalanan, air mata ini terus menitik. Titik air mata untuk seorang bocah cilik yang baru dihadirkan Tuhan. Bocah lucu yang telah mengisi hari-hariku dengan canda dan tawa. Kami sangat membanggainya.
Mungkin karena ia ponakan laki-laki satu satunya.
23 Maret 2003 adalah hari yang membuatku sangat sedih. Salman Al-Faritsi. Itulah nama bocah kecil itu. Ia meninggal dalam kejadian yang sangat menyesakkan dada. Ia tenggelam di kolam samping rumah! Kurang lebih 5 menit ia ada dalam air itu. Setelah itu tubuhnya ditemukan telah kaku. Dalam perjalanan dengan ambulance itu Salman lebih memilih bersama Tuhan, dibandingkan menuruti panggilan Ibunya yang merengek agar anaknya dikembalikan.
Saat pemakaman, Engkau ikut serta. Engkau ada di dekatku. Menguatkan jiwa yang sedang lara. Mengokohkan kesabaranku yang harus terus dikuatkan.
Dalam kesedihan itu. Lahir isu tentang adanya orang tertentu yang menghendaki kematiannya. Ada yang sengaja meminta kematiannya (Salman) sebagai Banten atau tumbal karena “Ilmu pesugihan?”. Tapi aku tak terlalu memperdulikan issu itu. Aku tak terlalu percaya dengan isu itu. Harun, kakak kandung suami adikku katanya ada dibalik kematian itu. Ia oleh warga Kampung Nelayan dinilai sedang menjalani praktek ilmu pesugihan. Dan konsekuensi ilmu pesugihan itu harus adanya “Banten” alias korbannya. Mudah-mudahan itu semua tidak benar. Mudah-mudahan Lek Harun bukan penyebab dari kematian Salman.
Aku tidak mau percaya begitu saja dengan ilmu pesugihan. Lagipula Lek Harun adalah guru ngajiku saat aku masih SD.
Tapi meskipun begitu, Waspada Ku menjadi-jadi, rasa takut dan trauma kehilangan ponakan, membuatku takut kehilangan lagi, terutama pada ponakan-ponakanku yang lain. Keadaan ini membuatku Waspada.
Anehnya aku juga takut akan kehilangan Dirimu yang lama tak bertemu.
Dina Larasati, Engkau kini makin lebih dewasa. Dengan kerudung putih itu, Engkau ikut dalam doa itu. Engkau raih Buku Yasin yang ada. Dibukanya buku itu, tak lama Engkau pun membacanya. Engkau duduk tepat di belakangku, ikut membaca surat Yasiin untuk anak kecil yang terbaring itu (baca: Salman). Nyala lilin di dekat kepalanya, seolah sedang memberiku berita bahwa ia sedang tenang dan bahagia, dan karenanya aku tak perlu sedihkannya. Ia telah bersama Tuhan. Ia telah berbahagia. Tidak baik jika aku bersedih. Aku tak ingin mengecewakannya apalagi menghalangi langkah abadinya menggapai Dia Yang Maha Kuasa. Aku hanya sedang tak bisa membayangkan bagaimana ia meninggal. tenggelam di kolam ikan samping rumah.
Ini adalah kehilangan besar dalam hidupku sebab ia keponakan yang sangat lucu.
Kesedihan kami sangat dalam. Sore setelah kenduri 7 hari itu, rumah kami di Jalan Brantas sangat lengang, rasa sedih masih menggelayuti pikiran Qodari (alias adikku) menyandarkan tubuhnya di pelukan Mama. Mba Inayah sedang ndulang Bella, sesekali tertegun melihat kami semua. Purwoko duduk di pojok Sofa dekat Bapak. Wajah-wajah kami tampil dengan ekspresi sama.
Duhai Kekasihku, Terima Kasih Engkau telah hadir dan Menemani Keluarga kami yang tengah berkabung. Aku kaget melihatmu ada dan hadir. Sekali lagi terima kasih, hadirmu, mengokohkan dan membangkitkan Kembali Jiwa yang selama ini mati atau dimatikan.
Engkau Sangat Cantik. Engkau ikut menemaniku hingga ke Pemakaman Suci, Pantai Segara Anak dekat Kampung Nelayan. Engkau mengenakan Cidung Warna Putih. Bersama Ibumu menyertaimu.
Terima Kasih Sudah datang.