RAWAMANGUN, April 2003. Di Masjid Kampus. Jam besar di pengimaman berdentang menunjukkan pukul 09.00. Cahaya Dhuha menyorot tak sempurna terhalang oleh dedaunan lebat. Cahaya dhuha pagi itu adalah cahaya yang meneguhkan Jiwa. Ini adalah saat dan waktu yang baik untuk mengungkapkan Harapan pada Sang Maha Pemilik Harapan, Allah SWT.
Kunikmati Indah dhuha pagi itu. Meski masih ada pikiran tak wajib shalat.
Aku akan kembali pada shalat sebab itu adalah wujud spiritualitas. Alhamdulillah suasana Masjid At-taqwa sangat membantuku untuk kembali shalat. Karena itu, aku mulai shalat.
Dhuha ini. Mudah-mudahan menjadi bagian dari doaku pada Allah SWT, penghilang gelisah, pembersih Jiwa dan pencerah pemikiran.Pagi itu aku berdoa penuh harap.
Walau kegiatan di Organisasi Kemahasiswaan yang kuikuti, justru terbalik, makin mendukungku untuk berjarak dengan Shalat. Ini bukan salahnya Organisasi itu, Goyah lagi dalam Shalat itu sejujurnya karena aku sendiri yang mengartikan relativitas kebenaran yang disuguhkan di dalam Kajian Filsafat.
Aku tetap Shalat, walau tidak serajin dulu. Aku shalat karena ikut Shalat Jamaah. Jika tiada, aku cenderung meninggalkannya. Aku takutnya jika aku tak di masjid lagi. Apa jadinya jika aku keluar dari Mess Mahasiswa. Aku masih bisa Shalat Dhuha pagi ini. Aku masih bisa berdoa memohon pada yang Kuasa.
*************************************************
Inna duhaa duhauka. Wal Bahaa bahauka. wal jamaala jamaa luka. Wal Quwwata Quwwatuka, Wal-Qudrota Qudrootuka. Allahumma inkana Rizki fissamaaai faanzilhu. Wa in kaana Mungasirron Fayassirhu, Wa Inkaaana harooman, Fathohirhu. Wainkaana Baiidan Faqoribhu dst.
Aku tambah dengan doa khusus.
Ya Allah, Pagi ini hambamu bersimpuh di hadapanmu. Berharap rahmat dan kasihmu memancar pada diri ini. Berharap Kebahagiaan senantiasa menghiasi langkah hamba. Mudah-mudahan secuil harapan dapat engkau kabulkan. Berharap hati yang tertutup dapat terbuka. Berharap Mimpi Indah itu bisa menjadi nyata.
***********************************************
Ya Allah, Hadirkanlah Bidadarimu! Untukku. Itulah poin doaku. Itulah harapanku. Dan poin itu juga yang tercantum dalam suratku untukmu.
Setelah Dhuha itu, aku ikuti kelas “Profesi Kependidikan” di gedung Sarwahita Universitas Negeri di Rawamangun. Tak ada salahnya menikmati suasana pagi untuk sekedar melihat-lihat suasana sekitar Masjid yang kulihat saat itu sangat cerah.Di teras Kampus, kulemparkan pandangan ke arah hamparan hijau lapangan Daksinapati. Tampaknya tak ada jadwal main bola pagi itu. Memang kalau pagi jarang yang latihan. Kebanyakan klub bola latihan di waktu sore
Akhir-akhir ini aku memang sedang banyak diam. Aku yang sebetulnya sangat pendiam, saat itu tambah pendiam. Aku tak seperti dulu yang tak kenal lelah mencari ilmu dan ikuti banyak kegiatan. Aku yang dulu di SMA semua kegiatan aku ikuti. Kini LDK kampus pun aku tak mau ikuti. Ini adalah waktu yang dipenuhi harap. Harap dapat segera ada jawaban darimu, Duhai gadisku. Waktu yang kuingini jawabanmu segera.
Lama termenung dan berdiam dalam masjid. Sekedar menghibur diri, menyalakan komputer atau mengedit skripsi yang telah tertulis beberapa Bab. Atau main Games di computer, yaitu permainan Solitaire (main Kartu) built up alias sudah ada di computer.
Hari-hariku sepi. Hanya kegiatan pengajian anak-anak yang rutin kuikuti. Aku tak ikut Demo mahasiswa di Bundaran HI. Rasanya semua kegiatan yang aku ikuti di ormawa (Organisasi Kemahasiswaan) menjadi tidak berarti.
Beberapa kali aku curhat dengan Mas Harto, bahkan sering. Bersamanya aku banyak bertukar pikiran tentang perubahan yang kualami. Dan hal yang sama juga kudapatkan cerita tentang Mas Harahap. Aku dan mas Harahap seperti orang yang lari dari kenyataan. Bersembunyi dalam Masjid. Mas Harahap ternyata menyimpan masalah yang pelik yang membuatnya merasa nyaman tinggal dalam Masjid.
Aku menjadi pribadi yang membatasi diri dari semua aktifitas kampus. Layaknya deretan pohon Mangrove di di bukit-bukit Pantai Segara Anak yang jauh dari keramaian.
Dalam keterasingan itu, aku merasa sangat hampa dan kering. Sebagaimana kering musim kemarau yang juga panjang. Itulah rasaku. Bukankah kering rerumputan depan lapangan Daksinapati juga telah memperjelas betapa kemarau panjang itu adalah takdir kita.
Datanglah hujan. Hijau Pantai Segara Anak pun sudah lama tak kusaksikan. Berharap Hujan akan segera datang.
“Jika aku salah?”
Di bagian mana letak salahnya. Kalau aku salah, maka aku akan minta maaf .” Apakah permintaan untuk melamarmu dalam surat itu adalah sesuatu yang tidak mungkin? Atau ada pertimbangan lain? Atau apa???! Aku tidak mengerti. Mengapa engkau sangat lama membalas suratku itu!
Gelisahku masih membahana di dada. Keinginanku saat itu membentur dinding-dinding tebal Masjid Kampus Rawamangun. Tak ada satupun surat atau jawaban yang datang. Hingga kegiatan atau perkuliahan yang kujalani, tak bisa ku ikuti dengan baik. Konsentrasi ambyar. Aku terlampau memikirkanmu. Aku terlanjur berharap padamu. Apakah aku salah yang telah menggantungkan harapan? Apakah aku salah?
“Dina, ayo jawab!”
Gigi gemeretak, nafas tak beraturan. Wajar jika tadi saat ia merapikan bangku masjid, Mas Harahap bilang aku sering melamun!.
“Dina, Jawablah, balaslah suratku itu!”
Makan tak enak, kuliah tak bergairah. Berpikir pun menjadi ogah. Kenyataan seperti itu dapat menjadikanku rela mengorbankan hal-hal yang tidak semestinya. Stress berat, biasanya terlampiaskan dengan makan banyak. Yang penting bagiku jawabanmu.
Waktu Dhuha, Sinar Mentari pagi menghamburkan butiran-butiran kristal yang mengguyur tubuh wanita yang sangat kukenali itu dan kini ada di depanku. Dibalik hamburan Kristal pagi yang cerah itu, tersaji wajahmu Duhai Kekasihku, saat itu berdiri dalam dalam diam. Engkau diam tak melihatku! Dan aku sangat mengenali bahwa Itu adalah Kamu! Engkau dihadapanku adalah Engkau Dina Larasati
****************************************
DUHAI Kekasihku
Gadis Dina Larasati!
Ingatkah engkau pada pertemuan pertama. Saat Cinta hanya memiliki satu makna. Saat itu kumantapkan sebuah cita-cita
Saat itu asa cinta sangat membara. Saat itu ada Kisah bahagia
Dan puisi tentang jiwa.
Gadis Dina Larasati!. Mengapa Engkau palingkan muka. Mengapa Engkau Diam tanpa suara. Mengapa langkahMu kau hentikan. Cobalah untuk bersuara