BA’DA Jumatan (Shalat Jumat) tahun 2003, aku main ke rumahnya. Ini momen penting cinta kami. Ini adalah saat jiwa akan berbicara. Ini adalah bisikan Jiwa yang lama terpendam.
Siang itu sinar mentari begitu semelet. Fenomena iklim kita akhir-akhir ini sangat ekstrim. Sudah empat tahun lamanya, didera Iklim Ekstrim. El-Nino tahun 1997 sempat jadi penjelas ilmiah tentang fenomena ini. Kian-hari, suhu udara terasa kian panas.Hingga sang mentari pun seolah ingin segera membuat “leleh” segala yang di bumi ini.
Dina dan keluarganya tidak tahu aku datang. Jika ada telepon rumah, tentu aku akan menelponnya. Saat itu hp belum sebanyak saat ini. Baru tahun 2004-an hp mulai menjamur. Aku pun menjadi salah satu pengguna Telepon Seluler itu Walau hp-ku sangat sederhana. Kawan-kawan sering mencandai kalau HP-ku punya fungi ganda. Pertama sebagai alat komunikasi. Kedua…, “Buat Ngelempar Anjing!” (sambil tertawa, canda). Tapi tak apa.
Ba’da shalat Jumat itu aku langsung ke Rumahmu Dina. Koko warna biru telor masih lekat di Badan. Aku tak menggunakan kopyah.
“Ehhh Anakku Lanang!. Monggo mlebet Mas!.”
Bunda membuka pintu depan dan mengajakku masuk. Aku selalu dipanggil dengan istlah anak lanang. Kurasakan panggilan lebih akrab. Kucium tangannya. Duduk bersama di teras depan. Pipinya sudah terlihat keriput. Beliau terlihat tua, padahal usianya tidak setua penampilannya itu. Sepertinya karena posturnya yang kecil. Beliau masih dengan pakaian khasnya. Rok panjang, trend pakaian era Rano Karno.
“Tak Kiro Ustad ’ko ngendi?”Bunda bercanda. Ia menggunakan bahasa Jawa ngoko Alus, umumnya orang Kampung Nelayan Berbahasa ngoko Alus, pada tingkat umumber-bahasa ngapak seperti logatnya Parto sang Komedian. Tapi dalam pembicaraan formal umumnya menggunakan krama Inggilatau logat di Kraton Jogja.“Nggih Kawulo Ustad saking Kampung Nelayan! Aku menanggapi candanya dengan canda juga. Sesudah itu!
Bunda siap bercerita pengalaman hidupnya. Dari sana nasehat berharga pun terlontar.Di teras depan rumah yang lebih adem. Pohon Jambu Wer, sedang berbuah segar. Matahari ba’da dzuhur di luar rumah masih sangat menyengat, karenanya udara terasa gerah. Angin sepoi membawa kesejukan potensial.
“Mudah-mudahan Kedamaian dan Kesejahteraan untuk Kampung Nelayan”. Itulah bahasa angin kala berhembus” Gerumbul Pepohonan di Pulau Apung menyajikan panorama Cinta. Nostalgia disana takkan dilupa”
Perasaanku tiba-tiba tidak tenang. Jantungku berdegup kencang. Keringat dingin keluar tak tertahan. Inilah saat-saat yang berat. Aku akan mendengar tanggapan orang tua. Setujukah mereka? Kulit wajahku memerah seperti terpanggang. Aku sangat tegang. Keringat dingin menyergapku dan nyaris membuat ku tak bisa bicara.
“Gimana Kuliahnya?” Bunda memulai obrolan dengan nanya soal kuliahku. Kubilang baik-baik saja. Sesaat aku terdiam agak lama. Oleh bunda tentu terlihat melamun sebab tatap mataku yang kosong. Pertanyaan Bunda sedikit membuatku tenang. Sebab ada modal yang bisa kubanggakan. Aku sudah mahasiswa! Saat itu aku sudah tinggal di masjid Kampus. 100% telah meninggalkan Negara Sembilan (N-9) (N-9).
“ Din, Dina. Namamu disebut-sebut Bunda, Ia memanggil Namamu!”
“Iya Mah! Suaramu menyeruak padanya udara di ruang tamu. Aku tambah deg-degan. Suara yang jelas dan tegas. Apa Kabarmu! Apa kabar duhai Gadis Cantik yang kuimpikan. Aku rindu cantikmu. AKu rindu merah pipimu.
Dina! Bunda kembali memanggil Namamu. Dag dig dug ini kian kurasakan
Engkau tak kunjung keluar dari kamar. Seperti sengaja membuatku penasaran. Panggilan kembali oleh Ibumu tak juga membuatmu keluar. Engkau masih di dalam.Aku makin tegang. Otot-otot syarafku mengencang. Tubuhku menegang, tanda betapa aku tidak percaya diri meski sudah beberapa kali bertemu. Rupanya Engkau sedang membuat minuman. Dan akhirnya yang ditunggu pun keluar.
“Subhanallah”. Akhirnya Engkau keluar Aku nyaris tak percaya. Tatap matamu menghujam dada. Pesonamu Menjerat Jiwa ini.
“Assalamu’alaikum”, Uluk Salam yang kau sampaikan tak sampai di pendengaran. Kau mencolekku, Kebiasaan, sering bengong. Katamu.
“Apa Kabar Mas! Ia mencium tanganku. Ini adalah keindahan. Dicium tangan kita adalah keindahan.Ia wanita yang sangat menakjubkan. Kecantikannya bukan semata di fisiknya, tapi sikapnya juga sangat luar biasa. Pesonanya tak pernah pudar. Ia masih tetap mengagumkan. Ia letakan baki minuman di meja dekat bufet. Dan ikut duduk bersama kami.
“Gimana gadis-gadis di Ibukota? tanyamu tiba-tiba dengan mimic cuek, tanpa ekspresi. Pertanyaan ini akan selalu jadi materi wajib saat kita bersama. Aku bengong mendengar pertanyaan itu. Saat ingin kujawab, tiba-tiba Bunda memotong.”
“Gausah dijawab Mas! Kata ibumu sambil mencolek mu dan bertanya sajian kue yang belum ada di meja.
“Mana kuenya? lanjutnya.
“Oh Iya!” Bergegas kau ke arah dapur belakang.
Sambil menghela nafas, bunda tawarkan minum
“Minumnya disruput dulu Mas!
Aku merasa sangat was-was dengan hasil pertemuan ini. Aku merasa sangat sangat kaku. Aku terlampau serius. Otot di kepala menegang. Sehingga saat itu juga ingin ke pembicaraan inti.
“Ragu”. Saat itu aku meragukanmu. Ragu sebab surat itu hanya berbunyi agar aku menemui orang tuamu. Tidak ada penjelasan spesifik apa yang akan dibicarakan dalam pertemuan ini. Aku bingung harus seperti apa. Pak Toto tidak ada di rumah alias masih Dinas di kantor LP (Lembaga Pemasyarakatan) Kota Cahaya.
Sebagai bahan pembicaraan aku bertanya soal bapak yang belum pulang Dinas.
“Biasanya sudah di rumah!”. Mungkin mampir ke pasar dulu, bentar juga pulang! Kata Bunda sambil mendekatkan nyamikan kue semprong kering ke arahku. Jam dinding di tembok yang belum dilepa menunjukan pukul 14.15 menit.
Tiba-tiba masuk ke halaman rumah, motor warna abu-abu. Nampak seorang laki-laki berjaket Coklat dan masih menggunakan Helm. Aku sempat penasaran. Tak berapa lama suara motor mati dan laki-laki itu kemudian membuka helmnya. Dan terlihat siapa sosok itu. Ia masih sangat muda. Kulitnya Putih bersih. Ganteng. Perlente dan sangat berkelas. Perasaanku mulai tidak enak. “Siapa dia?” dalam hatiku diliputi tanya.