KAMPUNG Nelayan 2004, Komentar Lik Lahmun cukup membuatku panas terbakar. Komentar tetangga yang satu ini sangat mengganggu. “Dina itu orang kaya, Ra cocok karo kowe! Tiap hari Sama PM (Polisi Militer) Koq”Kata-kata ini sangat mengganggu. Aku membenarkan kata Lik Salahmu Apalagi setelah aku bertemu denganmu yang kurasai hampa, tak dianggap dan tak pasti.
Di Pantai “Anak Segara”, saat aku diajaknya mancing. Lik Lahmun mengeluarkan pernyataan yang sangat tidak mengenakkan. Sambil melempar umpan di air laut, ia menyatakan ketidaksetujuan jika aku berhubungan denganmu, Dina. Di tepi Pantai Segara Anak yang tenang, kurenungi gelap rasa ini. Kujelajahi mahligai kecewa yang mengalir bagai angin kemarau menyusuri lembah sepi.
Di pinggir Danau sisi barat, aku mancing bersama Lik Lahmun. Dia kakak Lik Dodo yang tinggal di Pulau Apung. Rumahnya dekat pintu perlintasan Kereta
“Jangan Nikah dengan Dina!”
“Tinggalke Dina. Ngopo Karo Dia! Memangnya Cewek Cuma dia aja Po?”
Aku kaget mendengarnya. Aku ingin tahu juga bagaimana pendapat orang tentangmu.
“Keluargane iku pilih-pilih Im. Kowe PNS dulu, nembe iterima. Sainganmu Polisi.Mas.” Lik Lahmun menceramahiku dengan dalil-dalil yang faktanya aku belum pastikan. Seolah dia tahu semua tentangmu. Dan paling tahu. Padahal ketemu aja juga jarang. Aku merasa sangat dipojokkan. Bukan dukungan kudapat malah mulut nyerocos nggak karuan.
Tapi cukup membuatku terpuruk. Tepatnya setelah ketemu dengan Miko Widyatmoko hari itu, aku merasa terpuruk. Kata-katanya mengendorkan semangatku.
“Golet Liyane bae lah. Ora cocok koe karo kae!
Emang Beneran Lik Kalau Dia lebih memilih Polisi itu,? Ia menggelengkan kepala dengan menampilkan struktur wajah yang masih saja bertanya sebab dianggapnya aku tidak paham-paham. Atau ia sedang memberi isyarat agar jangan dibahas lagi obrolan tentang Dirimu.
“Karo Utami aja. Kuwe Nembe Mantaaap!”
Ia mengacungkan jempolnya.
“Wis Ayu! Sugih Maning!”
Dina itulah penilaian orang kampong Nelayan tentang dirimu. Maafkan aku yang pernah ragu. Aku yang sempat bingung menilaimu. Maafkan aku yang tak sempurna memahami dirimu.
Informasi-informasi itu membombardir. Aku seperti sang ideolog yang hilang keyakinan. Bukan hanya Lik Lahmun. Yu Darti, istrinya Lek Harun, teman Mama memberi saran yang sama, intinya sebaiknya aku putus denganmu dan menyarankan Utami, cucu Mbah Samsuri yang kaya raya.
Keluarga Besar di Kampung Nelayan tahu kalau aku mau dijodohkan dengan Utami, Bukan hanya saran dari Keluarga tapi semua orang di Pasar pun telah tahu. Mereka setuju aku dijodohkan dengan Utami itu. Alasannya wanita itu, wanita kaya raya, cucu Mbah Syamsuri, Nelayan sukses di Kampung Nelayan. Sudah pasti enak akan merasakan hidup enak dan ayem.
Mbah Syamsuri adalah Nelayan sukses di Kampung Nelayan Tapi pelitnya “nggak ketulungan”. Banyak yang nyesel jika pinjam dana ke Mbah Samsuri. Udah ngasih pinjeman kecil, ngomelnya kesana kemari. Terlebih jika terlambat mengembalikan. Banyak warga di Kampung Nelayan bilang seperti itu. Mamaku dulu sangat gedeg kalau ketemu dengannya. tapi kenapa Mama mau menjodohkan aku dengan Utami.
Kenapa? Dengar-dengar kabar Mama punya hutang cukup besar dengan Pak Syamsuri. Itu yang membuat Mama tak mau ambil pusing dan ingin menjodohkanku dengan Utami. Aku Cuma bisa mbatin, Emang ini Zaman Siti Nurbaya Apa? Lalu mengapa Mama tega menggadaikan anaknya hanya untuk membayar atau melunasi hutang-hutangnya?
Duhai Kekasihku, rupanya kau sangat tahu tentang perjodohan yang isinya telah ramai jadi pembicaraan. Karena issu itu pula menjadikanmu menjauh dariku.
“Kenapa semua berpikir negatif tentang Dina, padahal Engkau tidak seperti yang dituduhkan itu. Aku selalu membelanya. Kalau ada yang bilang keluarganya tak mau bersosialisasi atau tertutup. Aku melihat hal yang sebaliknya sebab keluarganya sangat terbuka. Ibunya sangat demokratis, ayahnya berwibawa dan cerdas. Aku sangat mengenali kecerdasan beliau.
“Apa salahku?”
“Apa salah Dina?”
“Apa salah keluarganya?”
Dina, sesungguhnya jiwaku tengah digempur cemburu. Setelah dari kampung itu, aku kembali Ibu Kota. Kembali larut dalam aktifitas masjid Kampus. Nyesek dada ini masih sangat ada. Di dalam kereta yang melaju kencang itu aku diam sama diamnya dengan suasana gelap pepohonan berkelebat yang terlihat dari dalam kereta, di Masjid pun aku banyak diam. Hening Masjid Kampus Menjadi sahabat sejati.
Aku cemburu pada laki-laki itu?Lelaki-laki berambut cepak, ganteng, kaya, dan selalu mengenakan baju necis itu telah membuatku cemburu. Ia pegawai Kepolisian Yang sukses. Miko Widyatmoko
Dalam Masjid Kampus yang hening, kubaringkan tubuhku di atas karpet tua warna hijau. Sesaat aku bangkit, sesaat berikutnya aku tidur, sesaat berikutnya aku bangkit lagi dan sesaat berikutnya tiduran lagi. Melongok Pura berpohon rindang, samping Masjid, serta Menatapi jengkal demi jengkal lapangan Daksinapati yang lengang. Aku gelisah. “Hufftt!” Desahku kuat. Kuhembuskan udara yang menyesak dada. Berjalan lagi menuju pengimaman. Merebah, dan terkapar tanpa daya. Kusaksikan Indahnya kubah Masjid seperti gedung MPR senayan.
Angin liar di atas atap masjid menampar-nampar kubah Masjid. Burung Greja mengepakkan sayap di sela-sela Ventilasi Kotak di kubahnya. Siulannya sangat menghimpit jiwa.Aku merasai gradasi suaranya menukik-nukik rasa dalam dada.Yang pasti burung itu sedang menyanyikan simfoni Jiwa. Itulah sesungguh-sungguhnya nyanyian. Nyanyian penggugah Jiwa.
Aku seperti malaikat yang membacakan vonis Tuhan. Semua catatan tentangmu seolah telah ada di tangan. Dan aku telah menarik kesimpulan prematur:
**********************************************
“DINA MENOLAK CINTAKU.
SEBETULNYA IA TIDAK CINTA.
JADI SELAMA INI DIA HANYA BERPURA-PURA!
AKU TAK ADA ARTINYA!”
********************************************
Itulah simpulanku atasmu Duhai Kekasihku. Curigaku menjulang tinggi. Hingga aku tak mampu berpikir positif. Tak jarang aku memakinya dengan kata-kata yang tak pantas (semisal nama-nama binatang yang ada di ragunan atau yang sering berkeliaran di jalan), walau tak terucap dihadapannya. Tapi sungguh ini tidak pantas.
Deru kendaraan-kendaraan besar bypass memberondong dalam keheningan kompleks. Sesekali terdengar suara debam yang datang dari roda-roda besarnya. Kafe malam, nafsu dan cinta satu malam telah siap tersaji untuk lelaki yang hidungnya tak lagi belang-belang sebab seluruh hidungnya telah berwarna kelam bahkan legam. Ironisnya ini terjadi di satu tempat yang sangat mengagungkan dan bergiat dengan pengembangan nilai intelektualitas dan bahkan spiritualitas (Kampus Rawamangun). Di balik dinding kampus ini, masih banyak tuna wisma, dan tuna ilmu yang tak tahu kapan nasibnya berubah.
Hingga ku buat puisi ini
“Dinding tebal nan tinggi hanyalah batas fisik, saat intelektualitas dan spiritualitas dipaksa tunduk pada pembedaan. Keamanan dan ketertiban hanyalah dalih, dari ketidakmampuan melihat kenyataan tentang masih banyaknya orang-orang yang semestinya disejahterakan! Lalu masih bergunakah diskusi dan debat kita tentang Manusia terbaik yang hendak diwujudkan
“Inilah Paradoks Kehidupan!” Di satu sisi, Masjid Kampus adalah institusi spiritual yang menempatkan Nilai Spiritualitas (Tuhan) sebagai pusat kesadaran. Di sisi lain, Universitas Negeri Ini adalah institusi intelektual, yang memproduksi kecerdasan dan membasmi kebodohan. Ini bertolak belakang dengan kenyataan yang sesungguhnya.