DENGAN sangat tergesa-gesa, ku ketuk pintu Rumah Bunda, Aku ingin segera tahu kabarmu. Aku ingin segera melihatmu. Aku tau datangku sangat mendadak dan membuat Bunda, terkaget-kaget. Aku ingin segera minta maaf padamu, Wahai Dina Larasatiku.
Berkali-kali ku ketuk Pintu Rumahnya, tak sabar aku menemuimu waktu itu. Begitu pintu dibuka kulihat Bunda, kucium tangannya. Dan aku meminta maaf padanya. Bunda terlihat makin kaget dan bertanya.
Ini ada ada apa??
“Sing Sareh.” Itu Kata-kata Bunda Waktu itu. Arti sareh yang dimaksudnya adalah Sabar.
“Lungguh Sik, Duduk dulu dan Ngomong yang tenang.” Bunda mempersilahkan duduk dan aku ceritakan semua. Aku ceritakan aku tak pernah ada niat mau meninggalkanmu, Dina, Aku juga sampaikan bahwa aku tak pernah tahu Jika Engkau, Dina masih mengharap kedatangan saya.
Owalah Leh?? Jebul Kuwi. Bahasanya sangat halus (Sopan). Beliau memiliki garis karton sehingga dalam ucap terlihat kehalusan kata dan tindaknya.
Uwis saiki sing Sareh. Lalu Bunda ke Belakang dan membuatkanku minuman. Dan sejumput kue kering di Toples Kecil. Tak lama ia telah kembali di serambi depan.
Sambil membawa nyamikan dengan nampan, beliau mengajakku bicara. “Onno Oppo to Mas. Radi Ngaren! Perasaanku berdegup kencang. Bunda meletakan nyamikan itu di meja dengan taplak bermotif batik. Dan mempersilahkan aku untuk meminum serta mencicipinya.
“Ayo diminum Mas Im!”
Sambil merapikan posisi duduknya, beliau terlihat grogi artinya tidak seluwes biasanya. Ini adalah suasana yang sangat berbeda. Ada sesuatu yang disembunyikan. Ada kecewa yang tak ia perlihatkan. Sang Ibu biasanya lebih sabar dibandingkan ayah. Ia tak marah padaku. Meski di hatinya bergemuruh.
Inilah Cerita Bunda tentangmu
Sejak pergi ke Ibu Kota.
Dina sangat berbeda. Dina bukan sebagaimana Dia yang dulu kami kenal. Dina sekarang ikut pengajian aneh. Awalnya kami sekeluarga menilai ada hal positif yang terjadi pada Dina. Kami juga sangat bangga dengan pakaian taqwa yang dulu saat pertama kali ia kenakan. Itu satu perubahan yang drastis pada dirinya. Kami Pun sekeluarga termotivasi untuk ikut dengan perubahan positif yang ada pada dirinya.
Tiga bulan di Ibu Kota perubahan itu sangat jelas pada dirinya. Yang aneh saat lebaran Dina tidak pulang. Komunikasi dengannya sempat terputus. Kami dan seluruh anggota keluarga mencarinya di Ibu Kota. Lapor ke Polisi. Tapi kami tak mendapatkannya.
Secara tiba-tiba di bulan Desember kalau tidak salah. Dina pulang. Dan kepulangannya itu membuat kami sangat terkejut. Kami pun bersyukur telah mendapatkannya dalam kondisi sehat wal afiat. Walau tubuhnya sangat kuru waktu itu. Tak lama di kampung, ia pergi lagi. Yang paling kami rasakan di Diri Dina, saat itu Dina sangat pendiam. Hingga pada akhirnya ia pun pamit ke Ibu Kota lagi. Kami tidak izinkan ia ke Ibu Kota, tapi ia memaksa alias pergi diam-diam. Tapi kami tetap memantaunya. Kami meminta Mega (Tantenya) agar memantau keberadaannya. Sejauh ini kami dengan Dina masih ada komunikasi, tapi terkadang Dia bersikap aneh dan tak mau dihubungi.
Di tengah beliau bercerita itu, tak tertahan air mata di cela mata Bunda menitik. Hal yang sama terjadi padaku. Aku pun berlinang air mata. Aku merasa sangat berdosa.
Dengan demikian jelaslah semuanya. Persis seperti apa yang kubayangkan dan kuperkirakan, Engkau terlibat di Negara Sembilan
Dina masih di Ibu Kota. Ia sudah tidak seperti dulu. Cobalah Mas Imam bicara dengan Dina. Mungkin dengan Mas Imam ia mau bicara jujur. Tapi Mas Imam harus tahu, Dina pernah janji tak mau ketemu Mas Imam. Ia sangat trauma dan kecewa….,
Aku meminta ijin Bunda untuk bisa menemuimu di Ibu Kota. Duhai Kekasihku, Masih ingatkah waktu dimana aku menemui Bundamu ini. Sedang apa kau waktu ini. Yang kutahu, engkau sedang ada Ibu Kota. Engkau mulai dalam pengaruh kuat suamimu. Engkau dalam doktrinnya.
Engkau sedang sangat kecewa padaku. Aku yang terkesan meninggalkanmu. Aku yang tak tahu kabarmu. Aku yang terkesan tak cinta. Engkau yang sedang sangat menderita. Miko seringkali bersikap kasar padamu.
“Saya minta alamat Dina Bun, Saya akan menemuinya!. Tak berapa lama, Bunda telah menuliskan alamatnya untukku dan di saat Pak Toto tepat pulang dari Lapas Kota Cahaya
“Tiba-tiba dari luar rumah, Pak Toto masuk. Dan Ia masuk, ia belum melihat kehadiranku .
“Ini Alamatnya Mas!”
Bunda menyerahkan secarik kertas berisi alamatmu, Dina.
“Terima Kasih Bunda”.
“Sebentar ya Mas Im! Permisi Bundamu, menyambut Pak Toto, yang terlihat baru dating di depan Pintu. Pak Toto masuk, dan melihat aku ada disana.
“Ada Tamu Toh!”
Aku merasakan hawa atau aura tak enak. Dan benar saja. Pak Toto langsung memakiku. Rupanya ia belum sadar jika aku yang bertamu
“Owh Kee Im, Ngapa Koe. Cah Kemplu.” Tendensius, dan sangat kotor sekali kata-kata itu. Itu artinya ia sangat marah. Ia tak lagi menghargaiku seperti dulu. Dan kutahu sikapku selama ini yang membuat Pak Toto marah, maka menyikapinya tak ada lain kecuali aku diam.
“Ora Tanggung Jawab! Beraninya Kau datang kesini,” Aku sontak kaget dan itu membuatku segera mendekatinya untuk menyalami beliau tapi ia menolak. Ia sangat marah. Ia sangat kecewa padaku.
“Kowe Wong Lanang Udu Im” Kalimat ini meluncur sangat tajam menghujam. Lagi-lagi ini menandakan kemarahannya sangat tinggi.
“Uwis To Pak!” Bunda berusaha menenangkan Pak Toto. Bapak jangan seperti itu! Kata Bunda terus menenangkan. Namun nasehatnya itu tak bisa membuatnya tenang, Beliau telah sangat terluka. Maklum anak wanita kesayangannya bernasib tak jelas. Beliau terluka dan aku yang jadi sasarannya. Selara derita yang menimpa anaknya. Bahkan hingga waktu itu tak ada kabarmu. Tentu itu yang membuat Ayahmu sangat marah padaku. Aku penyebabnya sebab Engkau sampai sakit karena memikirkan aku.
“Wong Kondisinya mereka berdua sama-sama putus kontak.” Kata Bunda berusaha membelaku.
Kemana Aja Kamu Im! Kata Pak Toto dengan nada tinggi. Pak Toto masih memarahiku sambil melampirkan jaketnya di belakang Pintu. Jelas sekali kulihat wajah kesalnya.
“Nyuwun Ngapunten Pak!” Aku merajuk dan memohon maaf padanya